CP dari CFIVE :
- Undang-undang ini telah beberapakali mengalami perubahan atau penyempurnaan. Untuk melihat s secara detail KLIK DI SINI ya.
- Dokumen ini diketik ulang oleh dan hanya untuk CFIVE. Jika ada kekeliruan silahkan hubungin admin CFIVE.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
1.
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban
warga negara, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan
kewajiban kenegaraan bagi para warganya yang merupakan sarana peran serta dalam
pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
2.
bahwa sistem perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan
pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan
tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia baik dalam segi
kegotongroyongan nasional maupun dalam laju pembangunan nasional yang telah
dicapai;
3.
bahwa sistem perpajakan yang tertuang di dalam
ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan
peran serta semua lapisan subyek pajak yang besar peranannya dalam meningkatkan
penerimaan dalam negeri dan sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan
peningkatan pembangunan nasional;
4.
bahwa oleh karena itu, sesuai pula dengan amanat yang terkandung
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983), perlu diadakan pembaharuan sistem
perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada subyek
pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan,
sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban
perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat;
5.
bahwa untuk dapat mencapai maksud tersebut di atas, perlu
diadakan pembaharuan dan penggantian peraturan perundang-undangan perpajakan
yang selama ini berlaku;
Mengingat
:
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2),
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;
3.
Regeling van het Beroep in Belastingszaken (Staatsblad Tahun
1927 Nomor 29) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 13, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1748);
4.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagihan Pajak Negara
dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1850);
5.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang
dimaksud dalam undang-undang ini dengan :
1.
Wajib Pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan;
2.
Badan adalah perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan
usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan
koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap;
3.
Masa Pajak adalah jangka waktu tertentu yang digunakan sebagai
dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang;
4.
Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim atau satu
tahun buku;
5.
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu Tahun
Pajak;
6.
Surat Pemberitahuan adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran
pajak yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
7.
Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
memberitahukan pajak yang terhutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu
saat;
8.
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
memberitahukan pajak yang terhutang dalam suatu Tahun pajak;
9.
Surat Setoran Pajak adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran pajak yang terhutang
di Kas Negara atau di tempat pembayaran lainnya yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dan/atau untuk melaporkan ke Direktorat Jenderal pajak;
10.
Surat Tagihan Pajak adalah surat
untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi berupa bunga dan denda
administrasi;
11.
Surat Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan besarnya
jumlah pajak yang terhutang, jumlah pengurangan pembayaran pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah
pajak yang masih harus dibayar;
12.
Surat Ketetapan Pajak Tambahan adalah surat keputusan yang menambah jumlah pajak
yang telah ditetapkan;
13.
Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak adalah surat keputusan yang
menentukan pengembalian kelebihan pembayaran jumlah pajak yang telah dibayar
dan/atau dipotong dan/atau dipungut, karena jumlah pajak yang telah dibayar
dan/atau dipotong dan/atau dipungut lebih besar dari pajak yang terhutang;
14.
Surat Pemberitaan adalah surat
yang berisi pemberitahuan kepada Wajib Pajak, bahwa jumlah pajak yang terhutang
sama besarnya dengan jumlah pajak yang sudah dibayar, dan/atau dipotong,
dan/atau dipungut;
15.
Pajak yang terhutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu
saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
16.
Surat Paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan
yang berkaitan dengan pajak, sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959
tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959
Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850);
17.
Kredit Pajak adalah jumlah pembayaran pajak yang dibayar oleh
Wajib Pajak sendiri, setelah ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut
oleh pihak lain dan dikurangkan dari seluruh pajak yang terhutang termasuk
apabila ada jumlah pajak atas penghasilan yang terhutang di luar negeri;
18.
Pekerjaan Bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang
tidak terikat oleh suatu hubungan kerja;
19. Tindakan Pemeriksaan adalah tindakan yang dilakukan oleh petugas
perpajakan dalam rangka melaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, untuk
mencari bahan-bahan guna penghitungan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah
pajak yang harus dibayar.
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,SURAT
PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
Pasal 2
Setiap
Wajib Pajak wajib mendaftarkan dirinya pada Direktorat Jenderal Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 3
(1)
|
Setiap
Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan, menandatangani, dan
menyampaikannya ke Direktorat Jenderal Pajak dalam wilayah Wajib Pajak
bertempat tinggal atau berkedudukan.
|
(2)
|
Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengambil sendiri Surat
Pemberitahuan di tempat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
(3)
|
Batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
|
1. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, selambat-lambatnya dua puluh
hari setelah akhir Masa Pajak;
2. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, selambat-lambatnya tiga
bulan setelah akhir Tahun Pajak.
|
|
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak atas permohonan wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf b.
|
(5)
|
Permohonan
sebagaima yang bersangkutan
|
Pasal 4
(1)
|
Wajib
Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
|
(2)
|
Dalam
hal wajib Pajak adalah Badan, Surat Pemberitahuan harus ditanda tangani oleh
pengurus atau direksi.
|
(3)
|
Dalam
hal Surat Pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib
Pajak, harus dilampiri
|
(4)
|
Pengisian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang wajib
melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca
dan perhitungan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan
untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
|
Pasal 5
Untuk
menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal
tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1).
Pasal 6
(1)
|
Surat
Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke Direktorat
Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk
untuk itu, sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga
bukti penerimaan.
|
(2)
|
Pengiriman
Surat Pemberitahuan melalui Kantor Pos dan Giro harus dilakukan secara
tercatat, dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda
bukti dan tanggal penerimaan.
|
Pasal 7
Apabila
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dikenakan sanksi
berupa denda administrasi sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Pasal 8
(1)
|
Wajib
Pajak dapat membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan
tindakan pemeriksaan.
|
(2)
|
Dalam
hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan
hutang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung mulai saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan
tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.
|
(3)
|
Sekalipun
telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan
tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib
Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terhutang beserta denda administrasi sebesar dua kali jumlah pajak yang
kurang dibayar.
|
Pasal 9
(1)
|
Menteri
Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terhutang untuk suatu saat atau masa pajak bagi masing-masing jenis pajak,
selambat-lambatnya
|
(2)
|
Kekurangan
pembayaran pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus
dibayar lunas dalam jangka waktu tiga bulan setelah Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan.
|
(3)
|
Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan
harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan
kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau memberikan penundaan pembayaran
pajak.
|
Pasal 10
(1)
|
Wajib
Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terhutang di Kas Negara atau di
tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata
cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur
dan menunda pembayaran pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
Pasal 11
(1)
|
Atas
permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a dikembalikan, atau apabila ternyata Wajib Pajak
mempunyai hutang pajak lainnya, langsung dapat diperhitungkan untuk melunasi
dahulu pajak yang terhutang.
|
(2)
|
Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam jangka waktu satu bulan setelah Surat Keputusan kelebihan Pembayaran
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a ditetapkan.
|
(3)
|
Apabila
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu satu
bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat
berlakunya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat
dilakukan pembayaran kelebihan.
|
(4)
|
Tata
cara perhitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur lebih
lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
BAB III
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12
Setiap
Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat
Ketetapan Pajak.
Pasal 13
(1)
|
Dalam
jangka waktu lima tahun sesudah saat terhutangnya pajak, atau berakhirnya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak
dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
|
1. apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang
kurang atau tidak dibayar;
2. apabila Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
3. apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih
lebih pajak, tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen), atau tidak
seharusnya diberikan pengembalian pajak;
4. apabila kewajiban
tidak dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29, sehingga
tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terhutang.
|
|
(2)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat
bulan, dihitung mulai saat terhutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak;
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak.
|
(3)
|
Jumlah
pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar :
|
1. 50% (
2. 100% (seratus
persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau
kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut
tetapi tidak atau kurang disetorkan;
3. 100% (seratus
persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
|
|
(4)
|
Jumlah
Pajak Penghasilan yang dipotong dan dipungut oleh pihak ketiga untuk satu
Tahun Pajak, jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri, pajak yang
ditagih dalam Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak tersebut, serta pajak
atas penghasilan yang dibayar atau terhutang di luar negeri untuk Tahun Pajak
yang bersangkutan, dikreditkan dari jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang
dalam Surat Ketetapan Pajak.
|
(5)
|
Sanksi
administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan, tidak dapat
dikreditkan dari jumlah pajak yang terhutang.
|
(6)
|
Besarnya
pajak yang terhutang dalam suatu Tahun Pajak yang diberitahukan oleh Wajib
Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, menjadi pasti menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak.
|
(7)
|
Apabila
jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak tetap dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak setelah
jangka waktu lima tahun tersebut di pidana, karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat
waktu, berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
|
Pasal 14
(1)
|
Surat
Tagihan Pajak dikeluarkan apabila :
|
1. pajak dalam tahun
berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. Wajib Pajak
dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi dan/atau bunga;
3. dari hasil
penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
|
|
(2)
|
Surat
Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak.
|
Pasal 15
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan dalam jangka
waktu lima tahun sesudah saat Pajak terhutang, berakhirnya masa pajak, Bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila diketemukan data baru dan/atau data
yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang
terhutang.
|
(2)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak Tambahan,
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
|
(3)
|
Kenaikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan, apabila Surat Ketetapan
Pajak Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis oleh Wajib
Pajak atas kehendak sendiri, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan.
|
(4)
|
Apabila
jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Tambahan tetap dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak
setelah jangka waktu lima tahun tersebut di pidana, karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya
telah lewat waktu, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
|
Pasal 16
Kesalahan
tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, dapat dibetulkan oleh
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak.
Pasal 17
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atau pemeriksaan, menerbitkan :
|
1. Surat Keputusan
Kelebihan Pembayaran Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan
sejak diterima surat permohonan, apabila jumlah pajak yang dibayar atau
jumlah Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut ternyata lebih besar
dari jumlah pajak yang terhutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terhutang;
2. Surat Pemberitaan,
apabila jumlah pajak yang dibayar atau jumlah Pajak Penghasilan yang dipotong
atau dipungut sama dengan jumlah pajak yang terhutang.
|
|
(2)
|
Apabila
setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan kelebihan
pembayaran pajak tersebut dianggap dikabulkan.
|
BAB IV
PENAGIHAN PAJAK
PENAGIHAN PAJAK
Pasal 18
(1)
|
Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan
merupakan dasar penagihan pajak.
|
(2)
|
Tata
cara pelaksanaan penagihan pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
Pasal 19
(1)
|
Apabila
atas pajak yang terhutang, pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar
atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak dibayar atau kurang
dibayar itu, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh
masa, yang dihitung dari jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran dan bagian
dari bulan dihitung penuh satu bulan.
|
(2)
|
Dalam
hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga
dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
|
(3)
|
Dalam
hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan dan
ternyata penghitungan sementara pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terhutang,
maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenakan bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf b sampai dengan hari dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut.
|
Pasal 20
Menyimpang
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 jumlah pajak yang terhutang
berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan
Pajak Tambahan ditagih seketika, dalam hal :
1. Wajib Pajak atau
wakilnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya ataupun berniat untuk itu;
2. Wajib Pajak atau
wakilnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) menghentikan atau secara
nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya atau pekerjaan yang dilakukannya di
Indonesia ataupun memindahtangankan barang bergerak atau barang tidak bergerak
yang dimilikinya atau dikuasainya;
3. Pembubaran Badan atau
niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit, begitu pula dalam hal terjadi
penyitaan atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik Wajib Pajak
atau wakilnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2).
Pasal 21
(1)
|
Negara
mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang Wajib Pajak
begitu pula atas barang-barang milik wakilnya, serta orang atau Badan yang
menurut Pasal 32 ayat (2) dan ketentuan undang-undang perpajakan lainnya,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng.
|
(2)
|
Ketentuan
tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok
pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan.
|
(3)
|
Hak
mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap hak mendahulu dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139
angka 1 dan angka 4, Pasal 1149 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
Pasal 80 dan Pasal 81 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
|
(4)
|
Hak mendahulu itu
hilang setelah lampau waktu dua tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan, kecuali
apabila dalam jangka waktu Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan
secara resmi, atau diberikan pembayaran.
|
(5)
|
Dalam hal Surat
Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu dua tahun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan
Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu dua
tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.
|
Pasal 22
Hak
untuk melakukan penagihan pajak; termasuk bunga, denda administrasi, kenaikan,
dan biaya penagihan gugur setelah lampau waktu lima tahun terhitung sejak saat
terhutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7) dan Pasal 15
ayat (4).
Pasal 23
Jumlah
Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak,
dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan yang tidak dibayar pada waktunya dapat
ditagih dengan Surat Paksa.
Pasal 24
Tata
cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur oleh
Menteri Keuangan.
BAB V
KEBERATAN DAN BANDING
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 25
(1)
|
Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
|
1.
2.
3.
4.
5. Pemotongan atau
pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
|
(2)
|
Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan
alasan-alasan secara jelas.
|
(3)
|
Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
(4)
|
Tanda
penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal
Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui
pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi
kepentingan Wajib Pajak.
|
(5)
|
Apabila
diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan, pemotongan, atau pemungutan pajak.
|
(6)
|
Pengajuan
keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
|
Pasal 26
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal
Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan.
|
(2)
|
Sebelum
|
(3)
|
Keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
|
(4)
|
Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak yang ditentukan
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan
harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
|
(5)
|
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan
tersebut dianggap diterima.
|
Pasal 27
(1)
|
Wajib
Pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap
keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya
dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal keputusan ditetapkan, dengan
dilampiri salinan Surat Keputusan tersebut.
|
(2)
|
Permohonan
banding diajukan secara tertulis dalam bahasa
|
(3)
|
Pengajuan
permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.
|
BAB VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 28
(1)
|
Orang
atau Badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia
harus mengadakan pembukuan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan yang
cukup untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak atau harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, guna penghitungan jumlah pajak terhutang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Bagi
Wajib Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
dibebaskan dari kewajiban untuk mengadakan pembukuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), sekurang-kurangnya harus menyelenggarakan pencatatan untuk
dijadikan dasar pengenaan pajak yang terhutang.
|
(3)
|
Pembukuan
atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad
baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
(4)
|
Pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri dari catatan
yang dikerjakan secara teratur tentang keadaan kas dan bank, daftar
hutang-piutang dan daftar persediaan barang, dan pada setiap Tahun Pajak
berakhir Wajib Pajak harus menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan
perhitungan rugi laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas
(konsisten) dengan tahun sebelumnya.
|
(5)
|
Pembukuan
atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa
Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
|
(6)
|
Pembukuan
atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumen lain yang
berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak harus
disimpan selama sepuluh tahun.
|
Pasal 29
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menetapkan besarnya
jumlah pajak yang terhutang dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Untuk
keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat
Perintah Pemeriksaan dan harus memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang
diperiksa.
|
(3)
|
Wajib
Pajak yang diperiksa harus :
|
1. memperlihatkan dan
meminjamkan pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan
dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Wajib Pajak;
2. memberi kesempatan
untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan
guna kelancaran pemeriksaan;
3. memberikan
keterangan yang diperlukan.
|
|
(4)
|
Apabila
dalam pengungkapan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
diminta, Wajib Pajak yang terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan,
maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk
keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
Pasal 30
Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu,
bila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (3) huruf b.
Pasal 31
Tata
cara pemeriksaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 32
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 32
(1)
|
Dalam
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal :
|
1. Badan oleh
pengurus;
2. Badan dalam
pembubaran atau pailit oleh orang atau Badan yang dibebani dengan pemberesan;
3. Suatu warisan yang
belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang
mengurus harta peninggalannya;
4. anak yang belum
dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
|
|
(2)
|
Wakil
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terhutang, kecuali apabila dapat
membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya
benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang
terhutang tersebut
|
(3)
|
Orang
atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan
|
Pasal 33
Pembeli
atau penerima jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah bertanggung jawab
secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti
pembayaran pajak.
Pasal 34
(1)
|
Setiap
pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala
sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam
rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Larangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap ahli yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(3)
|
Menteri
Keuangan berwenang memerintahkan secara tertulis kepada pejabat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ahli-ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari Wajib Pajak
kepada Pejabat Pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan Keuangan Negara. Surat
Perintah tersebut di atas menyebutkan nama Wajib Pajak yang dikehendaki
keterangannya dan nama pemeriksa.
|
(4)
|
Untuk
kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana; atas permintaan
Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis
untuk meminta kepada pejabat pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib
Pajak yang ada padanya.
|
(5)
|
Permintaan
Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka,
keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana yang
bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.
|
Pasal 35
(1)
|
Apabila
dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperlukan keterangan atau bukti dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan
dengan Wajib Pajak yang diperiksa, atas permintaan Direktur Jenderal Pajak
pihak ketiga tersebut harus memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
|
(2)
|
Dalam
hal pihak ketiga yang bersangkutan tersebut terikat oleh kewajiban untuk
merahasiakan, kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk
keperluan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
|
Pasal 36
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat :
|
1. mengurangkan atau
menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang
terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
2. mengurangkan atau
membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
|
|
(2)
|
Tata cara
pengurangan, penghapusan, atau pembatalan hutang pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur oleh Menteri Keuangan.
|
Pasal 37
Perubahan
besarnya sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 38
Barang
siapa karena kealpaannya :
1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada Negara, di pidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar dua kali
jumlah pajak yang terhutang.
Pasal 39
(1)
|
Barang
siapa dengan sengaja :
|
1. tidak mendaftarkan
diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
2. tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan; dan/atau
3. menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
dan/atau
4. memperlihatkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar; dan/atau
5. tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
lainnya; dan/atau
6. tidak menyetorkan
pajak yang telah dipotong atau dipungut;
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara, di pidana dengan pidana
penjara selama-lamanya tiga tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar
empat kali jumlah pajak yang terhutang yang kurang atau yang tidak dibayar.
|
|
(2)
|
Ancaman pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun,
terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara
yang dijatuhkan.
|
Pasal 40
Tindak
pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh
tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian
Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan;
Pasal 41
(1)
|
Pejabat
yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, di pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya enam
bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
|
(2)
|
Pejabat
yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan/atau
denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).
|
(3)
|
Penuntutan
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
|
Pasal 42
(1)
|
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan pasal 41 ayat (1) adalah
pelanggaran.
|
(2)
|
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 41 ayat (2) adalah
kejahatan.
|
Pasal 43
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, atau pegawai dari wajib Pajak.
BAB IX
P E N Y I D I K A N
P E N Y I D I K A N
Pasal 44
(1)
|
Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
|
(2)
|
Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
|
1. melakukan
penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan;
2. melakukan
penelitian terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
3. meminta keterangan
dan bahan bukti dari orang atau Badan sehubungan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang perpajakan;
4. melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
5. melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perpajakan;
6. meminta bantuan
ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan.
|
|
(3)
|
Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
|
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Terhadap
pajak-pajak yang terhutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak yang berakhir sebelum saat berlakunya undang-undang
ini, tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama,
sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
Pasal 46
Dengan
berlakunya undang-undang ini semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan
yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Pasal 47
Terhadap
penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan
minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan
Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya
undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi
Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty
1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Hal-hal
yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Ketentuan
dalam undang-undang ini berlaku pula bagi undang-undang perpajakan lainnya
kecuali apabila ditentukan lain.
Pasal 50
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
Agar
supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia .
Disahkan
di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ,
ttd
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 49
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1983
NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
U
M U M
1. Peraturan
perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang
berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat
itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan
dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di tanah air kita.
Oleh karenanya
pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab
baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutannya
dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah
beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat.
Pajak hanyalah
merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat secara
patuh.
Peraturan
perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan
Belanda adalah antara lain : Aturan Bea Meterai Tahun 1921, Ordonansi Pajak
Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak
Pendapatan Tahun 1944.
Meskipun terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan sisa-sisa kolonial tersebut
telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, namun karena
berbeda falsafah yang melatar belakanginya, serta sistem yang melekat kepada
undang-undang tersebut, maka sepanjang perpajakan dilandasi ketentuan-ketentuan
perundang-undangan tersebut, belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang
dapat menunjang cita-cita Bangsa dan Pembangunan Nasional yang sedang
dilaksanakan sekarang ini.
2. Memasuki alam
kemerdekaan, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan
penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap keadaan dan tuntutan
rakyat dari suatu negara yang telah memperoleh kemerdekaannya. Namun
perubahan-perubahan tersebut di masa lalu lebih bersifat parsial, sedangkan
perubahan yang agak mendasar baru dilakukan melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun
1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak
Perseroan, yang kemudian pelaksanaan diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor
11 Tahun 1967 yang selanjutnya terkenal dengan "sistem MPS dan MPO".
Sistem tersebut merupakan penyempurnaan sistem pajak sesuai dengan tingkat
perkembangan sosial ekonomi Indonesia .
Meskipun demikian,
upaya yang telah dilakukan untuk merubah berbagai peraturan perundang-undangan
perpajakan tersebut, belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan
kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan
perpajakan yang secara mendasar.
Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung
tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban
kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan.
Petunjuk akan
perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai amanat
rakyat, seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
yang antara lain berbunyi :
"Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak di intensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih".
"Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak di intensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih".
3. Oleh karena itu
undang-undang ini sebagai suatu undang-undang di bidang perpajakan yang
dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya berbeda
dengan undang-undang perpajakan yang dibuat di zaman kolonial.
Perbedaan tersebut
akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap
Wajib Pajak, yang tidak dianggap sebagai "obyek", tetapi merupakan
subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban
perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.
Di segi lain tuntutan
masyarakat terhadap adanya "aparatur perpajakan yang makin mampu dan
bersih", dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan
dalam undang-undang ini.
Perbedaan falsafah
dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar pembentukan undang-undang
ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme
pemungutan pajak.
Sistem dan mekanisme
tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem
perpajakan Indonesia ,
karena kedudukan undang-undang ini yang akan menjadi "ketentuan umum"
bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain.
Ciri dan corak
tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :
a. bahwa pemungutan
pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib
Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan
yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b. tanggung jawab atas
kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan
berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini
aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan,
penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan;
c. anggota masyarakat
Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan
nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak
yang terhutang ( self assesment ), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan
administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi,
terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Berdasarkan ketiga
prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung,
memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga
penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak
sendiri. Selain dari pada itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara
teratur jumlah pajak yang terhutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan
pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan
dihilangkan.
Ciri dan corak sistem
pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem lama warisan zaman
kolonial/ yang antara lain :
1. tanggung jawab
pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan seperti yang
tercermin dalam sistem penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang
administrasi perpajakan;
2. pelaksanaan kewajiban
perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi
perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal mana mengakibatkan
anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap
kewajiban perpajakannya dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban
negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.
Jelaslah bahwa sistem
pemungutan pajak yang ditentukan menurut undang-undang ini, memberi kepercayaan
lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
Selain itu jaminan
dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak
lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesggung jawab
perpajakan di masyarakat. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang
terjadi pada waktu yang lampau, dimana administrasi perpajakan meletakkan
kegiatannya pada tugas merampungkan/menetapkan semua Surat Pemberitahuan guna
menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya
dibayar, tetapi menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan,
berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak
yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan
sanksi administrasi.
Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.
Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.
4. Dengan landasan
sebagaimana telah diuraikan di muka sebagai suatu uraian yang utuh dan menyeluruh,
serta sesuai dengan amanat yang tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar
Haluan negara, maka diadakan pembaharuan sistem dan hukum perpajakan di
Indonesia, yang dituangkan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan tata
Cara Perpajakan.
Perubahan tersebut
diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat
terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta perluasan tingkat
kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan tingkat kesadaran
kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena pajak dan peningkatan
penerimaan negara sejalan dengan perkembangan Pembangunan Nasional sehingga
mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Dalam
pasal ini memuat perumusan mengenai pengertian istilah perpajakan yang
dipergunakan dalam undang-undang ini.
Dengan
adanya pengertian tentang istilah-istilah tersebut dapat dicegah adanya salah
pengertian atau salah penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal yang
bersangkutan, sehingga dapat mencapai kelancaran dan kemudahan baik bagi Wajib
Pajak maupun bagi aparatur dalam melaksanakan kewajibannya dan pada akhirnya
dicapai tertibnya administrasi perpajakan.
Pengertian
ini diperlukan, karena mengandung hal yang bersifat teknis dan baku , khususnya dalam bidang perpajakan.
Pasal
2
Semua
Wajib Pajak berdasarkan sistem self assesment harus mendaftarkan dirinya pada
Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Nomor
Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
Dengan diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak telah
terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak.
Fungsi
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut selain dipergunakan untuk mengetahui identitas
Wajib Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Setiap Wajib Pajak
dalam hal yang berhubungan dengan dokumen perpajakan diharuskan mencantumkan
Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) akan
dikenakan sanksi pidana.
Pasal
3
Ayat
(1)
Fungsi
Surat Pemberitahuan ( untuk selanjutnya disebut SPT ) adalah sebagai sarana
Wajib Pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah
pajak yang sebenarnya terhutang dan laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak
yang telah dilaksanakan sendiri dalam satu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak
dan laporan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam satu Masa Pajak yang
ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Setiap
Wajib Pajak wajib mengambil sendiri SPT yang telah disediakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak, mengisi, menghitung, dan memperhitungkan sendiri pajak yang
terhutang untuk satu Masa Pajak dalam SPT, dan menyampaikan SPT yang telah
diisi dan ditandatanganinya ke Direktorat Jenderal Pajak dalam batas waktu yang
ditentukan. Yang dimaksud dengan mengisi SPT adalah, mengisi formulir SPT
secara benar, jelas, lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan mengenai
penghitungan jumlah pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Pengisian SPT yang tidak benar yang berakibat
timbulnya kerugian bagi negara akan dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal
38 dan Pasal 39 dalam undang-undang ini. Demikian pula keterlambatan atau tidak
menyampaikan SPT akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
Ayat
(2)
Dalam
rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak formulir SPT disediakan pada
Kantor-kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pos dan Giro,
Kantor Pos Pembantu, dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pajak dan yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.
Ayat
(3)
Ayat
ini mengatur tentang batas waktu pemasukan SPT. SPT dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu SPT Masa untuk melaporkan pembayaran masa yang dilakukan oleh Wajib
Pajak , dan SPT Tahunan untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang dari
penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak dalam satu Tahun pajak. Batas waktu
tersebut dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dan b adalah batas waktu terakhir.
Batas waktu tersebut dianggap cukup memadai bagi wajib Pajak untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak maupun
penyelesaian pembukuannya.
Ayat
(4)
Apabila
Wajib Pajak baik orang atau Badan ternyata tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan
laporan keuangan Tahunan atau neraca perusahaan beserta daftar rugi laba dalam
jangka waktu tiga bulan benar-benar mengalami kesulitan, karena luasnya
kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis pembuatan neraca atau laporan
keuangan sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan
kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak berhak untuk
mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian SPT
Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat
(5)
Untuk
mencegah usaha penghindaran diri dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak
yang terhutang dalam satu Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu
pemasukan SPT Tahunan, perlu kiranya ditetapkan persyaratan khusus dan
menetapkan sanksi administrasi berupa pungutan bunga bagi Wajib Pajak yang
ingin memperpanjang waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan
khusus tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan tertulis tentang
besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara dalam satu
Tahun Pajak, sebagai lampiran Surat Permohonan penundaan kewajiban penyampaian
SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat
(6)
Karena
SPT itu merupakan alat penelitian atas kebenaran penghitungan pajak terhutang
yang diberitahukan oleh Wajib Pajak, maka lampiran tersebut merupakan bagian
dari SPT dan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak.
Pasal
4
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
5
Cukup
jelas.
Pasal
6
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
7
Untuk
kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk menjaga disiplin Wajib
Pajak, bagi Wajib Pajak yang tidak mematuhi kewajiban formal menyampaikan SPT
sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi berupa denda
administrasi yang ditetapkan sebesar Rp 10.000,- ( sepuluh ribu rupiah ).
Pasal
8
Ayat
(1)
Terhadap
kekeliruan dalam pengisian SPT yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka
baginya hak untuk melakukan pembetulan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum mengetahui tentang adanya ketidakbenaran dalam SPT yang telah
disampaikan atau belum menugaskan petugasnya untuk memulai tindakan
pemeriksaan.
Ayat
(2)
Dengan
adanya pembetulan sendiri SPT tersebut membawa akibat penghitungan jumlah pajak
yang terhutang dan jumlah perhitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari
jumlah semula. Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan
tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% ( dua persen )
per bulan.
Bunga
yang terhutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT sampai dengan tanggal pembayaran karena
adanya pembetulan SPT tersebut. Apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak
dalam melakukan pembetulan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Ayat
(3)
Wajib
Pajak yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, sepanjang
belum dilakukan tindakan penyidikan oleh petugas perpajakan, sekalipun telah
dilakukan pemeriksaan terhadapnya dan Wajib Pajak telah mengungkapkan
kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terhutang
beserta denda administrasi sebesar dua kali dari jumlah pajak yang kurang
dibayar, maka terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan. Namun bilamana telah
dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan
kepada Penuntut Umum, maka kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup
bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pasal
9
Ayat
(1)
Batas
waktu Pembayaran Masa ditentukan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak
boleh melebihi lima
belas hari setelah saat terhutangnya atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan
dalam pembayaran masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2 % ( dua persen ) per bulan.
Ayat
(2)
Sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b Wajib Pajak wajib menyampaikan SPT
Tahunan dalam waktu tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak. Jika pada waktu
pengisian SPT tersebut ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang
terhutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas
sebelum SPT Tahunan itu disampaikan, misalnya SPT harus disampaikan pada
tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terhutang atau setoran
terakhir harus sudah dilunasi sebelum SPT disampaikan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Direktur
Jenderal Pajak dapat memperkenankan penundaan pembayaran pajak yang terhutang,
meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut
diberikan dengan hati-hati dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar
sedang mengalami kesulitan likuiditas. Di persyaratkan untuk mendapatkan
kelonggaran tersebut, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis disertai
alasan-alasan yang dapat di pertanggungjawabkan dan meyakinkan.
Pasal
10
Ayat
(1)
Direktorat
Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak.
Semua penyetoran pajak-pajak negara, harus disetorkan di Kas negara atau
tempat-tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, seperti yang
selama ini telah ditetapkan yakni di Kantor Pos dan Giro di beberapa Bank
Pemerintah. Dengan usaha memperluas tempat-tempat pembayaran pajak yang mudah
dijangkau oleh Wajib Pajak, dimaksudkan untuk mempermudah Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajibannya, sekaligus menghindarkan adanya rasa keengganan dalam
melaksanakan pembayaran pajak.
Ayat
(2)
Dengan
adanya penentuan tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak dan pelaporannya
yang akan ditentukan dengan Peraturan Menteri Keuangan, demikian juga mengenai
tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak, diharapkan akan dapat
mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan mempermudah penampungan
administrasinya.
Pasal
11
Ayat
(1)
Jika
setelah diadakan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terhutang dengan
jumlah pajak yang telah dibayar menunjukkan jumlah selisih lebih ( jumlah pajak
yang telah dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terhutang ), Wajib Pajak
berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib
Pajak tersebut tidak mempunyai hutang pajak lain.
Dalam
hal Wajib Pajak masih mempunyai hutang pajak lainnya yang belum dilunasi,
kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan hutang
pajak tersebut dan bilamana masih terdapat sisa lebih, baru dapat dikembalikan
kepada Wajib Pajak. Untuk memperoleh kembali kelebihan pembayaran tersebut,
Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
atau pejabat yang ditunjuknya.
Ayat
(2)
Untuk
menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan menjamin ketertiban
administrasi, batas waktu pengembalian oleh Direktur Jenderal Pajak ditetapkan
dalam jangka waktu selama-lamanya satu bulan setelah Surat Keputusan Kelebihan
Pembayaran Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat
(3)
Untuk
terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak dengan kecepatan
pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ayat ini menentukan, bahwa atas
setiap kelambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka
waktu tersebut pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan
imbalan oleh Pemerintah berupa bunga sebesar 2% ( dua persen ) per bulan,
dihitung sejak saat berlakunya batas waktu satu bulan sampai saat dilakukan
pembayaran. Yang dimaksud dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan pembayaran
pajak adalah saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak ( SPMKP ) diterbitkan.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
12
Pada
prinsipnya pajak terhutang pada saat timbulnya obyek pajak yang dapat dikenakan
pajak. Saat terhutangnya pajak tersebut adalah :
a. Pada Suatu Saat,
untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. Pada Akhir Masa,
untuk Pajak Penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau oleh
pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh pengusaha atas pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
c. Pada akhir Tahun
Pajak, untuk Pajak Penghasilan. Jumlah pajak terhutang yang telah dipotong,
dipungut, ataupun yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat
atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 dan Pasal
10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke Kas Negara atau tempat lain
yang telah ditentukan.
Berdasarkan
undang-undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak lagi berkewajiban untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas keseluruhan SPT Wajib Pajak. Penerbitan
sesuatu Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang
disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya
data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pasal
13
Ayat
(1)
Ketentuan
ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, yang pada hakekatnya hanya terhadap
kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, atau tegasnya hanya
terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil
penelitian dan pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan kewajiban
material.
Wewenang
yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut, dibatasi
sampai dengan kurun waktu lima
Tahun saja.
Menurut
ketentuan ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak baru diterbitkan bilamana
Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Diketahuinya bahwa Wajib Pajak tidak
atau kurang membayar pajak, adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib
Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib
Pajak kurang membayar dari jumlah yang seharusnya terhutang. Pemeriksaan dapat
dilakukan di tempat Wajib Pajak dengan sifat pemeriksaan buku lengkap atau
melalui penelitian administrasi perpajakan.
Untuk
memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan
pemeriksaan.
SPT
yang tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegur secara tertulis
dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat
Teguran itu, menurut ketentuan ayat (1) huruf b membawa akibat, bahwa Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Terhadap
ketetapan seperti ini dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana
diatur dalam ayat (3).
Tegoran
itu antara lain dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak
yang beritikad baik, untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapatnya
SPT disampaikan apabila karena terjadinya sesuatu hal di luar kemampuan ( force
mayeur ).
Dalam
hal SPT disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran dan
pajak yang terhutang dilunasi sebagaimana mestinya, Surat Ketetapan Pajak tidak
akan diterbitkan dengan anggapan bahwa SPT tersebut telah diisi dengan benar
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi
Wajib Pajak yang dengan sengaja melakukan pelanggaran dalam kewajiban
perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, berupa pelaksanaan kompensasi selisih lebih
pembayaran pajak, tarif 0% ( nol persen ) yang semestinya bukan 0% ( nol persen
), pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak perlu terjadi seperti
tersebut dalam ayat (1) huruf c, dikenakan sanksi administrasi dengan
menerbitkan Surat Ketetapan pajak ditambah kenaikan sebesar 100% ( seratus
persen ).
Bagi
Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan Pasal 28 undang-undang
ini atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan menurut Pasal 29 ayat
(2), sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat mengetahui keadaan usaha
Wajib Pajak yang sebenarnya dan berakibat tidak dapat dihitung jumlah pajak
yang seharusnya terhutang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan
pajak yang didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh Wajib Pajak saja.
Sebagai konsekwensinya beban pembuktian atas uraian perhitungan yang dijadikan
dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak, diletakkan pada
Wajib Pajak.
Sebagai
contoh diberikan antara lain :
1)
|
pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) tidak lengkap, sehingga penghitungan
rugi laba atau peredaran tidak jelas;
|
2)
|
dokumen-dokumen
pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat
diuji;
|
3)
|
dari
rangkaian penelitian dan fakta-fakta yang diketahui besar dugaan
disembunyikannya dokumen atau barang bukti lain di suatu tempat tertentu,
sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad
baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.
|
Ayat
(2)
Ayat
ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak,
karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a. Sanksi administrasi perpajakan dalam ayat ini berupa sanksi bunga yang
dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak.
Contoh
:
Seorang Wajib Pajak Penghasilan yang mempunyai tahun buku sama dengan tahun takwim memasukkan SPT Tahunan untuk Tahun 1984 tepat pada waktunya yang disertai dengan setoran akhir. Pada bulan April 1987 dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak yang menunjukkan kekurangan pajak yang terhutang sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Berdasarkan ketentuan ayat ini maka atas kekurangan tersebut dikenakan bunga 2% ( dua persen ) sebulan. Walaupun Surat Ketetapan Pajak tersebut diterbitkan lebih dari dua tahun sejak berakhirnya tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa dua tahun dengan perhitungan sebagai berikut :
Seorang Wajib Pajak Penghasilan yang mempunyai tahun buku sama dengan tahun takwim memasukkan SPT Tahunan untuk Tahun 1984 tepat pada waktunya yang disertai dengan setoran akhir. Pada bulan April 1987 dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak yang menunjukkan kekurangan pajak yang terhutang sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Berdasarkan ketentuan ayat ini maka atas kekurangan tersebut dikenakan bunga 2% ( dua persen ) sebulan. Walaupun Surat Ketetapan Pajak tersebut diterbitkan lebih dari dua tahun sejak berakhirnya tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa dua tahun dengan perhitungan sebagai berikut :
Kekurangan pajak yang
terhutang =
Rp 1.000.000,-
Bunga 2 tahun= 2% x 2 x 12 x Rp. 1.000.000 = Rp 480.000,-
Bunga 2 tahun= 2% x 2 x 12 x Rp. 1.000.000 = Rp 480.000,-
Masih harus dibayar = Rp 1.480.000,-
Seandainya
Surat Ketetapan Pajak tersebut diterbitkan bulan Mei 1986 maka perhitungannya
adalah sebagai berikut :
Kekurangan pajak yang
terhutang = Rp 1.000.000,-
Bunga 17 bulan = 2% x 17 x Rp. 1.000.000 = Rp 340.000,-
Bunga 17 bulan = 2% x 17 x Rp. 1.000.000 = Rp 340.000,-
Masih harus dibayar = Rp 1.340.000,-
Ayat
(3)
Ayat
ini mengatur sanksi administrasi dari suatu Ketetapan Pajak, karena melanggar
kewajiban perpajakan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan
huruf d. Sanksi administrasi demikian berupa "kenaikan", yaitu suatu
jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada jumlah pajak yang harus
ditagih.
Besarnya
sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya yaitu
untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sanksi
kenaikan sebesar 50 % ( lima puluh persen ), untuk jenis Pajak Penghasilan yang
dipotong oleh orang/badan lain sanksi kenaikan sebesar 100% (seratus persen ),
sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sanksi kenaikan sebesar 100% ( seratus persen ).
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan pajak yang "dikreditkan" ialah jumlah pengurangan
pajak yang terdiri dari :
1. pajak yang dipotong
oleh pihak ketiga,
2. pajak yang dipungut
oleh pihak ketiga,
3. pajak yang dibayar
sendiri,
4. pajak yang ditagih
dalam Surat Tagihan Pajak ( STP ), 5. pajak yang terhutang di luar negeri.
Jumlah
pengurangan tersebut dikurangkan dari pajak yang terhutang.
1.
Pajak yang terhutang: Rp 1.000.000,-
2.
Pengurangan-pengurangan :
Pajak yang
dipotong oleh pemberi kerja
Pajak yang
dibayar sendiri ( setoran masa )
Pajak yang
ditagih dalam STP (tidak termasuk bunga dan denda)
Pajak yang
ditagih di luar negeri
|
Rp
150.000,-
Rp 400.000,- Rp 75.000,- Rp 100.000,- |
|
Jumlah pajak yang dikreditkan
|
Rp
725.000,-
|
3.
Pajak yang masih harus ditagih Rp 275.000,-
Ayat
(5)
Sanksi
administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan, tidak dapat
diperhitungkan atau dikreditkan terhadap jumlah pajak terhutang. Dengan
demikian, dalam hal akan dilakukan perhitungan atau pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, jumlah sanksi administrasi perpajakan yang telah dibayar
harus dikeluarkan lebih dahulu dari jumlah kelebihan pembayaran yang akan
diterima oleh Wajib Pajak.
Ayat
(6)
Untuk
memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib Pajak, berkenaan dengan
pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem "self assessment", maka
apabila dalam waktu lima tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktorat Jenderal
Pajak tidak juga menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, maka jumlah pembayaran
pajak yang diberitahukan dalam SPT Masa atau SPT Tahunan pada hakekatnya telah
menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, SPT Wajib
Pajak yang bersangkutan telah merupakan ketetapan yang tetap dan tidak akan
diubah (rampung).
Ayat
(7)
Dalam
hal Wajib Pajak, di pidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu, berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Surat Ketetapan Pajak
masih dibenarkan untuk diterbitkan, meskipun jangka waktu lima tahun
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) telah dilampaui. Dengan adanya putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut, terungkap
adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pasal
14
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Surat
Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan Surat
Ketetapan Pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan
Surat Paksa.
Pasal
15
Ayat
(1)
Untuk
menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak yang ternyata
telah ditetapkan lebih rendah, atau telah dilakukan pengembalian pajak yang
tidak seharusnya, atau pada waktu dilakukan peneta0pan dalam bentuk Keputusan
Kelebihan Pembayaran Pajak, atau penerbitan Surat Pemberitaan, undang-undang
ini masih memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan
Ketetapan Pajak Tambahan dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terhutang
pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Surat
Ketetapan Pajak Tambahan merupakan koreksi atas Surat Ketetapan Pajak
sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Tambahan baru diterbitkan apabila sebelumnya
telah pernah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. Dengan perkataan lain Surat
Ketetapan Pajak Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului
dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
Ayat
ini tidak hanya mensyaratkan harus adanya data baru (novum) dalam penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Tambahan. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang belum
terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Tambahan, atau baru
diketahui, kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak Surat Ketetapan Pajak Tambahan
masih dapat diterbitkan lagi.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Dalam
hal Wajib Pajak di pidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak
Tambahan masih dibenarkan untuk diterbitkan, meskipun jangka waktu lima tahun
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) telah dilampaui. Dengan adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut,
terungkap adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak dilaporkan Wajib
Pajak.
Pasal
16
Apabila
terjadi kesalahan tulis, kesalahan hitung atau kekeliruan dalam surat ketetapan
pajak seperti salah ketik, salah dalam jumlah, salah penerapan tarif, Direktur
Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permintaan Wajib Pajak, dapat membetulkan
Surat Ketetapan Pajak/Surat Ketetapan Pajak Tambahan yang salah atau keliru
tersebut.
Pengertian membetulkan dalam ayat ini bisa berarti menambah, atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan atau kekeliruannya.
Pengertian membetulkan dalam ayat ini bisa berarti menambah, atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan atau kekeliruannya.
Pasal
17
Ayat
(1)
huruf
a.
Surat
Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak ( SKKPP ) dapat diterbitkan, setelah oleh
Direktur Jenderal Pajak diadakan penelitian atau pemeriksaan dengan maksud
untuk memastikan dan memberikan keyakinan, bahwa memang benar-benar terdapat
kelebihan pembayaran atas jumlah pajak yang terhutang.
Surat
Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak tersebut harus diterbitkan dalam jangka
waktu paling lama dua belas bulan setelah surat
permohonan diterima.
Dengan
batas waktu tersebut, selain memperhatikan kepentingan kepastian hukum bagi
Wajib Pajak, juga dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi
perpajakan.
huruf
b.
Surat
Pemberitaan dapat diterbitkan setelah oleh Direktur Jenderal Pajak diadakan
penelitian atau pemeriksaan dengan maksud untuk memastikan dan memberikan
keyakinan bahwa memang benar-benar jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak
dan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak ketiga sama besarnya dengan jumlah
pajak yang terhutang.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
18
Ayat
(1)
Pada
dasarnya besarnya hutang pajak dihitung sendiri oleh Wajib Pajak. Baru apabila
kemudian ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan Wajib Pajak dalam
melakukan penghitungan pajak yang terhutang atau Wajib Pajak melanggar
ketentuan yang diatur dalam undang-undang perpajakan. Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak atau Surat
Ketetapan Pajak Tambahan. Ketiga surat
ini merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan
penagihan pajak. Dalam hal tagihan pajak tersebut tidak dibayar pada tanggal
jatuh tempo yang telah ditetapkan, penagihannya dapat dilakukan dengan Surat
Paksa.
Ayat
(2)
Untuk
tertibnya dan keseragaman tindakan dalam melaksanakan penagihan pajak, Menteri
Keuangan akan mengatur tata caranya termasuk aspek administrasi baik mengenai
tindakan penagihan itu sendiri maupun aspek pelaksanaan pembayaran atas
tagihan.
Pasal
19
Ayat
(1)
Ayat
ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak dibayar atau kurang dibayar
pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar. Untuk jelasnya cara
penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut :
1. Atas jumlah pajak
yang kurang dibayar.
Surat Ketetapan Pajak Penghasilan ( SKP PPh ) Pajak terhutang atau ditagih ( dianggap tidak ada jumlah pajak yang dikreditkan ) : Rp 100.000,- SKP diterbitkan tanggal 10 Oktober 1985. Harus dilunasi paling lambat tanggal 10 November 1985, tetapi baru dibayar sejumlah Rp 60.000,- pada tanggal 1 November 1985. Sampai pada tanggal batas waktu pembayaran ( 10 November 1985 ) terakhir sisa tagihan tidak dibayar lagi oleh Wajib Pajak. Pada tanggal 18 November 1985 diterbitkan Surat Tagihan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dengan perhitungan sebagai berikut :
Surat Ketetapan Pajak Penghasilan ( SKP PPh ) Pajak terhutang atau ditagih ( dianggap tidak ada jumlah pajak yang dikreditkan ) : Rp 100.000,- SKP diterbitkan tanggal 10 Oktober 1985. Harus dilunasi paling lambat tanggal 10 November 1985, tetapi baru dibayar sejumlah Rp 60.000,- pada tanggal 1 November 1985. Sampai pada tanggal batas waktu pembayaran ( 10 November 1985 ) terakhir sisa tagihan tidak dibayar lagi oleh Wajib Pajak. Pada tanggal 18 November 1985 diterbitkan Surat Tagihan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dengan perhitungan sebagai berikut :
Pajak terhutang
Dibayar pada waktunya Kurang Dibayar Bunga Dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp 40.000,- Bunga tersebut ditagih dengan STP. |
=
Rp 100.000,-
= Rp 60.000,- = Rp 460.000,- = Rp 800,- |
2. Atas jumlah pajak
yang terlambat dibayar.
Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar penuh tetapi terlambat, misalnya dibayar tanggal 20 November 1985.
Tanggal 24 November 1985 diterbitkan SPT.
Bunga terhutang dalam Surat Tagihan Pajak dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp
100.000,- = Rp 2.000,-
3. Atas jumlah pajak
yang kurang dan terlambat dibayar.
Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar sejumlah Rp 60.000,- pada tanggal 20 November 1985.
Tanggal 24 November 1985 diterbitkan STP.
Bunga terhutang dihitung satu bulan = 1 x 2 % x Rp. 100.000,- = Rp 2.000,-
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
20
Dalam
hal terjadi suatu peristiwa atau keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini,
maka untuk menjaga kemungkinan terjadinya sesuatu yang akan mengakibatkan pajak
yang terhutang tidak dapat ditagih, tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran dalam
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan,
penagihannya dapat dilakukan seketika dan sekaligus.
Pasal
21
Ayat
(1)
Ayat
ini menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan
mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Wajib Pajak, dan barang-barang
milik Wakilnya akan dilelang di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (2).Dalam hal telah dilakukan tindakan penagihan sampai kepada tindakan
penagihan aktif, seterusnya pelelangan di muka umum atas barang-barang milik
Wajib Pajak, tetapi hasil dari pelelangan di muka umum barang-barang milik
Wajib Pajak tersebut belum cukup untuk melunasi hutang pajaknya, maka
barang-barang milik wakilnya, sepanjang dalam kedudukannya bertanggung jawab
untuk itu, akan disita dan dilelang di muka umum untuk melunasi hutang pajak
Wajib Pajak.
Setelah
hutang pajak dilunasi baru diselesaikan pembayaran kepada kreditur lainnya.
Maksud dari ayat ini adalah untuk memberi kesempatan pada Pemerintah untuk
mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan
barang-barang milik Wajib Pajak atau Wakilnya di muka umum guna menutupi atau
melunasi tunggakan pajaknya.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Pada
ayat ini ditegaskan bahwa hak mendahulu ini melebihi segala hak lainnya,
artinya lebih kuat dari hak lainnya kecuali terhadap pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam :
1. Pasal 1139 angka 1
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : "biaya perkara yang
semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak maupun tak bergerak. Biaya ini dibayar dari hasil penjualan
benda-benda tersebut terlebih dahulu daripada semua piutang lainnya yang
diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan hipotik".
2. Pasal 1139 angka 4
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : "biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang".
3. Pasal 1149 angka 1
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : "biaya perkara yang
semata-mata disebabkan karena pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya
ini didahulukan daripada gadai dan hipotik".
4. Pasal 80 dan Pasal 81 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, mengenai
hak tagihan seorang komisioner.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
22
Pada
dasarnya pelaksanaan penagihan Pajak daluwarsa dalam waktu lima
tahun, tetapi dapat saja melebihi lima
tahun apabila :
1. Telah dikeluarkan
Surat Teguran dan Surat Paksa;
2. Adanya pengakuan
Wajib Pajak secara langsung atau tidak langsung antara lain :
1. dilakukan pembayaran
hutang pajak itu;
2. diajukan permohonan
penundaan pembayaran; atau
3. diadakannya
pengangsuran pembayaran.
Dalam hal demikian
kedaluwarsaan penagihan piutang pajak dihitung dari saat terjadinya
peristiwa-peristiwa tersebut di atas.
Pasal
23
Cukup
jelas.
Pasal
24
Menteri
Keuangan akan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah
piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi. Melalui cara ini akan dapat
diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat
ditagih atau dicairkan.
Pasal
25
Ayat
(1)
Perkataan
"suatu" dalam ayat ini, dimaksudkan bahwa satu keberatan harus
diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya : Pajak
Penghasilan Tahun Pajak 1985 dan Tahun Pajak 1986. Keberatan terhadap Surat
Ketetapan Pajak Penghasilan Tahun 1985 dan Tahun 1986 tersebut, harus diajukan
masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua Tahun pajak
tersebut harus diajukan dua buah Surat Keberatan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Batas
waktu pengajuan Surat Keberatan ditentukan dalam waktu tiga bulan sejak
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau SKP sebagaimana ditentukan dalam ayat
(1), dengan maksud agar supaya Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai
untuk mempersiapkan Surat Keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa
batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak, karena
keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak ( force mayeur ), maka tenggang waktu
selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Ayat
(4)
Tanda
bukti/Resi penerimaan Surat Keberatan sangat diperlukan untuk memenuhi
ketentuan formal. Diterima atau tidaknya hak mengajukan Surat Keberatan
dimaksud, tergantung dipenuhinya ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), yang dihitung mulai diterbitkannya sampai saat diterimanya
Surat Keberatan tersebut. Tanda bukti atau resi penerimaan tersebut oleh Wajib
Pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya, untuk mengetahui
sampai kapan batas waktu dua belas bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) itu berakhir. Tanda bukti atau resi penerimaan itu diperlukan untuk
memastikan bahwa keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut
Wajib Pajak tidak menerima surat
balasan dari Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukannya. Inilah
yang dimaksud dengan kata "kepentingan" dalam ayat ini.
Ayat
(5)
Agar
Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan yang kuat, Wajib
Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau
pemungutan pajak yang telah ditetapkan, sebaliknya Direktur Jenderal Pajak
berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut di atas.
Ayat
(6)
Untuk
mencegah usaha penghindaran atau penundaan pajak melalui pengajuan Surat
Keberatan, maka pengajuan keberatan itu tidak menghalangi tindakan penagihan.
Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih
mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan kewajiban untuk membayar pajak yang
telah ditetapkan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.
Pasal
26
Ayat
(1)
Terhadap
Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak kewenangan penyelesaian dalam
tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan
batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan
paling lama dua belas bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Dengan
ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut,
berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak di samping
terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Ayat
ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidak benaran ketetapan pajak, dalam
hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan
secara jabatan, Surat Ketetapan Pajak secara jabatan, tersebut diterbitkan
karena Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Tahunan, meskipun telah ditegur
secara tertulis, atau tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau
menolak untuk memberikan kesempatan kepada pejabat pemeriksa memasuki
tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna
menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang. Apabila Wajib Pajak tidak
membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan itu, maka surat keberatannya
ditolak.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
27
Ayat
(1)
Dalam
hal Wajib Pajak masih merasa kurang puas terhadap keputusan Direktur Jenderal
Pajak atas keberatan yang diajukan, Wajib Pajak masih diberi kesempatan untuk
mengajukan banding ke badan peradilan pajak, dalam hal ini seperti yang ada
sekarang Majelis Pertimbangan Pajak, dalam jangka waktu tiga bulan sejak
tanggal keputusan keberatan tersebut. Dengan demikian bagi Wajib Pajak telah
diberikan cukup waktu untuk menyiapkan Surat Banding beserta alasan-alasan dan
bukti-bukti yang diperlukan bagi badan peradilan pajak tersebut.
Ayat
(2)
Lihat
penjelasan Pasal 25 ayat (2).
Ayat
(3)
Lihat
penjelasan Pasal 25 ayat (6).
Pasal
28
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pada
dasarnya setiap orang/Badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
diharuskan mengadakan pembukuan. Tetapi bagi Wajib Pajak yang karena
kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk dibebaskan dari kewajiban
mengadakan pembukuan.
Yang
dimaksud dengan "dibebaskan" dari kewajiban mengadakan pembukuan
dalam ayat ini, tidak diartikan bahwa Wajib Pajak untuk seterusnya tidak
berusaha untuk meningkatkan kemampuannya menyelenggarakan pembukuan secara
lengkap dan baik, sehingga sama sekali tidak memiliki pembukuan dalam menyelenggarakan
usahanya. Sepanjang kemampuan tersebut belum dimiliki, Wajib Pajak dibenarkan
untuk hanya membuat catatan-catatan yang merupakan pembukuan sederhana yang
memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk melakukan penghitungan pajak
yang terhutang bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Pembukuan
dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau perusahaan
harus disimpan selama sepuluh tahun, supaya dalam batas waktu tersebut apabila
Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak, bahan
pembukuan yang diperlukan masih tetap tersedia. Kurun waktu sepuluh tahun harus
disimpannya pembukuan dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan adalah
taat asas ( konsisten ) dengan ketentuan Pasal 40 undang-undang ini mengenai
gugurnya tuntutan pidana perpajakan.
Pasal
29
Ayat
(1)
Direktur
Jenderal Pajak, dalam rangka melaksanakan tugas pemungutan pajak, diberikan
wewenang untuk melaksanakan pemeriksaan, guna keperluan penetapan pajak yang
terhutang dan keperluan-keperluan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan-perundang-undangan perpajakan.
Tujuan
pemeriksaan, terutama adalah untuk memperoleh/mengumpulkan bahan-bahan yang
dijadikan dasar untuk :
1. menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak/Surat Ketetapan Pajak Tambahan;
2. menerbitkan Surat
Pemberitaan;
3. menerbitkan Surat
Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak;
4. hal-hal lain yang
berhubungan dengan administrasi perpajakan.
Pengertian
"tujuan lain" dalam ayat ini dimaksudkan adalah pemeriksaan dalam
rangka yang menyangkut hal-hal sebagai berikut :
1. menyusun Norma
Penghitungan;
2. mencocokkan data dan
alat keterangan;
3. menentukan besarnya
pembayaran pajak dalam suatu masa Pajak bagi Wajib Pajak baru;
4. hal-hal lain yang
berhubungan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Oleh
karena pembukuan, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
kegiatan usaha dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan demikian penting
peranannya dalam menentukan besarnya pajak yang terhutang, maka apabila diminta
oleh petugas pemeriksa, Wajib Pajak harus memperlihatkan atau meminjamkannya.
Bilamana pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan tidak
dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk menghindarkan diri,
berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa dibolehkan memasuki tempat atau ruangan
yang menurut dugaan petugas pemeriksa digunakan sebagai tempat pemyimpanan
buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen tersebut.
Ayat
(4)
Untuk
mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan, sehingga pembukuan, catatan,
dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan
oleh Wajib Pajak, maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu
dapat ditiadakan.
Pasal
30
Terhadap
orang atau badan yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak bersedia memberi
kesempatan kepada petugas pemeriksa untuk memasuki
tempat-tempat/ruangan-ruangan tertentu yang diduga disimpan di dalamnya pembukuan,
dokumen-dokumen, dan catatan-catatan, sehingga pembukuan, dokumen-dokumen,
catatan-catatan yang diperlukan tidak dapat diperoleh, maka Wajib Pajak
dianggap menghalang-halangi pelaksanaan pemungutan pajak. Dalam hal demikian
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk melakukan tindakan penyegelan
tempat atau ruangan-ruangan tertentu yang diperkirakan sebagai tempat
penyimpanan pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen guna mengamankan
atau mencegah hilangnya pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen
tersebut.
Pasal
31
Untuk
terlaksananya keseragaman, ketertiban, dan kesatuan tindakan pelaksanaan
pemeriksaan, perlu diatur ketentuan dan tata caranya dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
32
Ayat
(1)
Dalam
Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap Badan, Badan dalam pembubaran,
warisan yang belum dibagi dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada
dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi
wakil atau kuasanya, guna melakukan tindakan hukum, melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakan, oleh karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin
melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat
(2)
Pengecualian
yang dimaksud dalam ayat ini harus dengan pembuktian bahwa dalam kedudukannya
sebagai wakil menurut kewajaran dan kepatutan tidak mungkin dimintakan
pertangungjawabannya secara pribadi dan/atau secara renteng.
Ayat
(3)
Ayat ini
memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan
orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas
namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan
tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak
Wajib Pajak yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan.
Pasal 33
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa, karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa pertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terhutang apabila ternyata bahwa pajak yang terhutang tersebut tidak dibayarnya.
Pasal
34
Ayat
(1)
Setiap
pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang
perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut
masalah perpajakan. Masalah kerahasiaan tersebut perlu mendapatkan
perlindungan, untuk mencegah disalah gunakannya bahan keterangan Wajib Pajak,
dalam usaha persaingan dagang atau mengungkapkan keadaan asal usul kekayaan
atau penghasilan yang diperoleh, yang pada hakekatnya merupakan rahasia
pribadi, sesuai dengan asas hukum pajak.
Ayat
(2)
Para
ahli, seperti ahli/juru bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang
perpajakan, pada hakekatnya adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula
untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Ayat
(3)
Untuk
kepentingan pengamanan keuangan negara yang dilakukan oleh pejabat pemeriksa
yang ditugaskan untuk itu, baik oleh pejabat pemeriksa Badan Pemeriksa
Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Menteri Keuangan dapat
memberikan izin kepada Badan-badan tersebut, untuk melihat bukti-bukti
perpajakan yang terikat dengan kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan dan pengawasan
keuangan negara yang ada hubungannya dengan masalah perpajakan.
Ayat
(4)
Untuk
melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana yang
berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri
Keuangan dapat memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
pejabat pajak termasuk pejabat yang ditugaskan dalam badan peradilan perpajakan
atau Majelis Pertimbangan Pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), atas permintaan tertulis Hakim Ketua Sidang.
Ayat
(5)
Maksud
dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan, bahwa keterangan
perpajakan yang diminta tersebut adalah hanya mengenai perkara pidana tentang
perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas
pada tersangka yang bersangkutan.
Pasal
35
Ayat
(1)
Untuk
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, pihak ketiga
yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa, seperti Konsulen
Pajak, Akuntan Publik, Notaris dan pihak atau orang lainnya yang ada hubungannya
dengan tindakan atau kegiatan usaha Wajib Pajak harus memberikan keterangan dan
bukti-bukti yang diminta petugas Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka
pemeriksaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Bahan keterangan atau bukti yang
diminta tersebut diperlukan untuk melengkapi bahan keterangan perpajakan guna
menghitung dan menentukan besarnya jumlah pajak yang sebenarnya terhutang bagi
Wajib Pajak yang diperiksa. Selain itu, ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan
pula untuk mencegah adanya usaha menyembunyikan bahan keterangan atau
bukti-bukti mengenai perpajakan di tempat orang lain.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
36
Ayat
(1)
Dapat
saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi yang dikenakan kepada
Wajib Pajak, karena ketidaktelitian petugas pajak dapat membebani Wajib Pajak
yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang
demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dan berlandaskan unsur
keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak benar,
misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi
persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun
persyaratan material terpenuhi.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Pasal
37
Sesuai
dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena itu
undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya
sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan sesuai
dengan keadaan ekonomi keuangan.
Pasal
38
Pelanggaran
terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang
menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi,
sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi
pidana. Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran
bagi Wajib Pajak untuk mematuhi atau melakukan kewajiban perpajakannya seperti
yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Kealpaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati dan tidak memperdulikan
kewajibannya, sehingga perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian bagi
negara.
Pasal
39
Ayat
(1)
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja
bukan lagi merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana
kejahatan, karena itu diancam dengan pidana yang lebih berat daripada perbuatan
karena kealpaan yang sifatnya adalah pelanggaran.
Ayat
(2)
Untuk
mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, maka bagi
mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat
satu tahun sejak selesai menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan, dikenakan pidana lebih berat, ialah dua kali lipat dari ancaman
pidana yang diatur dalam ayat (1).
Pasal
40
Tindak
pidana di bidang perpajakan daluwarsa sepuluh tahun, dari sejak saat
terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian
hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim. Jangka waktu sepuluh tahun
tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen
perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terhutang,
selama sepuluh tahun.
Pasal
41
Ayat
(1)
Untuk
menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan pada
pihak lain, dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data-data dan keterangan
tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perpajakan, maka perlu
adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran pengungkapan kerahasiaan tersebut. Pelanggaran kerahasiaan yang
dilakukan menurut ayat ini, adalah dilakukan karena kealpaannya dalam arti
lalai, tidak hati-hati atau tidak memperdulikan sehingga kewajiban untuk
merahasiakan keadaan, keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak
yang dilindungi oleh undang-undang perpajakan, dilanggar. Atas pelanggaran
karena kealpaannya tersebut dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan kealpaannya
tersebut.
Ayat (2)
Ayat (2)
Ketentuan
yang diatur dalam ayat ini adalah berunsur kesengajaan sehingga mengakibatkan
pembocoran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Karena itu
hukumannya lebih berat dibanding dengan sanksi pidana yang ditentukan dalam
ayat (1). Unsur kesengajaan tersebut menjurus pada kejahatan, karena itu
hukumannya sesuai dengan perbuatan kejahatan tersebut.
Ayat
(3)
Tuntutan
pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) sesuai dengan sifatnya, adalah menyangkut kepentingan pribadi
seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana
pengaduan.
Pasal
42
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
43
Ketentuan
pidana di bidang perpajakan tidak saja ditujukan kepada diri Wajib Pajak,
tetapi juga kepada pihak lain yang ditunjuk sebagai wakil, kuasa atau pegawai
Wajib Pajak yang diberi pelimpahan tanggung jawab atau tanggung jawab secara
renteng atas pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang dipercayakan dan
dikuasakan padanya.
Pasal
44
Ayat
(1)
Penyidikan
di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang diperlukan, sehingga dapat membuat terang tentang
tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi, dan guna menemukan tersangka
serta mengetahui besarnya pajak terhutang yang diduga digelapkan. Penyidik di
bidang perpajakan adalah pejabat pegawai negeri tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat oleh Menteri Kehakiman sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana
dalam bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan
pelaksanaannya.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
45
Meskipun
undang-undang perpajakan yang lama telah dicabut dengan diundangkannya
Undang-undang ini, untuk menampung penyelesaian penetapan pajak-pajak terhutang
pada masa atau tahun pajak sebelum berlakunya Undang-undang ini, yang
pelaksanaannya masih berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan lama, maka Undang-undang ini menentukan jangka waktu berlakunya
peraturan perundang-undangan lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
Penentuan jangka waktu lima
tahun tersebut disesuaikan dengan daluwarsa penagihan pajak.
Pasal
46
Cukup
jelas.
Pasal
47
Ordonansi
pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty
1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap penghasilan
kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas
bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka
perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil , sepanjang perjanjian Kontrak
Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat berlakunya
undang-undang ini.
Ketentuan
undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima
atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan
dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, apabila
perjanjian Kontrak karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah
berlakunya undang-undang ini.
Pasal
48
Untuk
menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan
yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan
penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara yang diperlukan.
Pasal
49
Cukup
jelas.
Pasal
50
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hidup adalah proses pembelajaran untuk lebih baik dan saya pun sedang terus belajar. Terimakasih bagi seluruh pembaca setia. Mari saling berbagi dan nasihat itu pun baik (menghakimi itu hak Allah).Silahkan berpendapat dan berbagi dengan positif dan itikad baik.