TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
1.
bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan
nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk perkembangan bentuk-bentuk
dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2.
bahwa dalam upaya
untuk selalu menjaga agar perkembangan seperti tersebut di atas dapat tetap
berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi
Pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan
agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan,
diperlukan langkah-langkah penyesuaian terhadap Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan;
3.
bahwa untuk mewujudkan
hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (1),
Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K A N :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6
TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagai
berikut :
1.
Ketentuan Pasal 1
huruf a sampai dengan huruf d, huruf g sampai dengan huruf n, huruf q dan huruf
s diubah dan ditambah dengan huruf t, huruf u, huruf v, huruf w, huruf x, huruf
y, huruf z dan huruf aa, sehingga Pasal 1 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 1”
Yang dimaksud dalam Undang-Undang ini dengan :
1.
Wajib Pajak adalah
orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut
pajak atau pemotong pajak tertentu;
2.
Badan adalah suatu
bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau
organisasi yang sejenis lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk
badan usaha lainnya;
3.
Masa Pajak adalah
jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim kecuali ditetapkan lain
oleh Menteri Keuangan;
4.
Tahun Pajak adalah
jangka waktu satu tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku
yang tidak sama dengan tahun takwim;
5.
Bagian Tahun Pajak
adalah bagian dari jangka waktu satu Tahun Pajak;
6.
Surat Pemberitahuan
adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan
pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
7.
Surat Pemberitahuan
Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu
saat;
8.
Surat Pemberitahuan
Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak;
9.
Surat Setoran Pajak
adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau
penyetoran pajak yang terutang ke Kas Negara atau ke tempat pembayaran lain
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
10.
Surat Tagihan Pajak
adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda;
11.
Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang
terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar;
12.
Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas
jumlah pajak yang telah ditetapkan;
13.
Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau
tidak seharusnya terutang;
14.
Surat Ketetapan Pajak
Nihil adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak;
15.
Pajak yang terutang
adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun
Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
16.
Surat Paksa adalah
surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan
Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1850);
17.
Kredit pajak untuk
Pajak Pertambahan nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan untuk
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak sendiri ditambah
dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas
penghasilan yang dibayar atau yang terutang di luar negeri, yang dikurangkan
dari pajak yang terutang;
18.
Pekerjaan bebas adalah
pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus
sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu
hubungan kerja;
19.
Pemeriksaan adalah
serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan/atau
keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
20.
Surat ketetapan pajak
adalah surat ketetapan berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau disingkat
SKPKB, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau disingkat SKPKBT, Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau disingkat SKPLB, Surat Ketetapan Pajak Nihil
atau disingkat SKPN;
21.
Penanggung Pajak
adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
22.
Pembukuan adalah suatu
proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang modal, penghasilan
dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang
terutang maupun yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, yang dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0 % (nol persen) dan yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan
berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap Tahun Pajak berakhir;
23.
Penelitian adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran
penulisan dan penghitungannya;
24.
Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya;
25.
Surat Keputusan
Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan
hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak atau
Surat Tagihan Pajak;
26.
Surat Keputusan
Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak
atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh
Wajib Pajak;
27.
Putusan Banding adalah
putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan
yang diajukan oleh Wajib Pajak."
2.
Judul Bab II diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut :
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, NOMOR PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
3.
Ketentuan Pasal 2
diubah dan ditambah dengan ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), sehingga
Pasal 2 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 2
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri
pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
|
(2)
|
Setiap Pengusaha yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, wajib melaporkan
usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha
dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan
pada ayat (1) dan ayat (2).
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
|
(5)
|
Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta
tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (4) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak."
|
4.
Ketentuan Pasal 3 ayat
(1) dan ayat (6) diubah dan ditambah dengan ayat (7) dan ayat (8), sehingga
Pasal 3 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 3
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat
Pemberitahuan, menandatangani dan menyampaikannya ke Kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain
yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditentukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
(3)
|
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
adalah :
|
1.
untuk Surat
Pemberitahuan Masa, selambat-lambatnya dua puluh hari setelah akhir Masa
Pajak;
2.
untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan, selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun
Pajak.
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan
Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
|
(5)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan
sementara pajak terutang dalam satu Tahun Pajak dan bukti pelunasan
kekurangan pembayaran pajak yang terutang
|
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak menetapkan bentuk
dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan dokumen yang harus
dilampirkan.
|
(7)
|
Surat pemberitahuan dianggap tidak
disampaikan apabila tidak atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
(8)
|
Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak-Pajak Penghasilan tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan".
|
5.
Ketentuan Pasal 6 ayat
(2) diubah dan ditambah dengan ayat (3), sehingga Pasal 6 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 6
(1)
|
Surat Pemberitahuan
yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke Kantor Direktorat Jenderal
Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu,
sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga bukti
penerimaan.
|
(2)
|
Penyampaian Surat
Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat
atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(3)
|
Tanda bukti dan
tanggal pengiriman untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan."
|
6.
Ketentuan Pasal 7
diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 7
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan
tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3),
dikenakan sanksi administrasi berupa denda untuk Surat Pemberitahuan Masa
sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) dan untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)".
7.
Ketentuan Pasal 8 ayat
(1) diubah dan ditambah dengan ayat (4) dan ayat (5), sehingga Pasal 8
seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 8”
(1)
|
Wajib Pajak dapat
membetulkan Surat Pemberitahuan atas kemauan sendiri dengan menyampaikan
pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak,
dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
(2)
|
Dalam hal Wajib
Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang di
bayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai
dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.
|
(3)
|
Sekalipun telah
dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib
Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali jumlah
pajak yang kurang dibayar.
|
(4)
|
Sekalipun jangka
waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat
ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan, yang mengakibatkan :
|
1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi
lebih besar; atau
2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan
menjadi lebih kecil; atau
3. jumlah harta menjadi lebih besar; atau
4. jumlah modal menjadi lebih besar.
|
(5)
|
Pajak yang kurang
dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50 % (lima puluh persen) dari pajak yang
kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan
tersendiri dimaksud disampaikan."
|
8.
Ketentuan Pasal 9 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 9 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 9
(1)
|
Menteri Keuangan
menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak,
selambat-lambatnya lima belas hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa
Pajak berakhir.
|
(2)
|
Kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus
dibayar lunas selambat-lambatnya tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu
disampaikan.
|
(3)
|
Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
(4)
|
Direktur Jenderal
Pajak atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak."
|
9.
Ketentuan Pasal 11
ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 11 seluruhnya menjadi berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 11
(1)
|
Atas permohonan
Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
atau Pasal 17B dikembalikan, atau apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai
utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang
pajak tersebut.
|
(2)
|
Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
jangka waktu satu bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 B.
|
(3)
|
Apabila pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan,
Pemerintah memberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan atas kelambatan
pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat dilakukan
pembayaran kelebihan.
|
(4)
|
Tata cara
penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan oleh
Menteri Keuangan."
|
10. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (6) dan ayat (7) diubah serta ayat (4) dan ayat (5) dihapus, sehingga
Pasal 13 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 13
(1)
|
Dalam jangka waktu
sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai berikut :
|
1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. apabila Surat Pemberitahuan tidak
disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
3. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenakan tarif 0 % (nol persen);
4. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 dan Pasal 29 tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya
pajak yang terutang.
|
(2)
|
Jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
|
(3)
|
Jumlah pajak dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar :
|
1. 50 % (lima puluh persen) dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
2. 100 % (seratus persen) dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut,
tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau
kurang disetorkan;
3. 100 % (seratus persen) dari Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
tidak atau kurang dibayar.
|
(4)
|
Besarnya pajak yang
terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan
menjadi pasti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku, apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, tidak
diterbitkan surat ketetapan pajak.
|
(5)
|
Apabila jangka waktu
sepuluh tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu sepuluh
tahun tersebut di pidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap."
|
2.
Ketentuan Pasal 14
ayat (1) diubah dan ditambah dengan ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 14
seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 14
(1)
|
Direktur Jenderal
Pajak dapat
|
1. dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan
terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau
salah hitung;
2. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi
berupa denda dan/atau bunga;
3. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 tetapi tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
4. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak atau Pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat atau tidak
mengisi selengkapnya Faktur Pajak.
5. menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
6. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak
atau kurang dibayar;
|
(2)
|
Surat Tagihan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
surat ketetapan pajak.
|
(3)
|
Jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan,
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan.
|
(4)
|
Terhadap Pengusaha
atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan
huruf e masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi
sebesar .2 % (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak."
|
3.
Ketentuan Pasal 15
diubah, sehingga seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 15
(1)
|
Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam
jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru dan/atau
data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak
yang terutang.
|
(2)
|
Jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
|
(3)
|
Kenaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
mulai melakukan tindakan pemeriksaan.
|
(4)
|
Apabila jangka waktu
sepuluh tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh delapan persen) dari
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah
jangka waktu sepuluh tahun tersebut di pidana karena melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap."
|
4.
Ketentuan Pasal 16
diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 16
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak
yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau
kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan."
5.
Ketentuan Pasal 17
diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 17
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau
telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang."
6.
Menambah dua ketentuan
baru di antara Pasal 17 dan Pasal 18 yang dijadikan Pasal 17A dan Pasal 17B,
yang masing-masing berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 17A
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
"Pasal 17B
(1)
|
Direktur Jenderal
Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak selambat-lambatnya
dua belas bulan sejak surat permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan
tertentu ditetapkan lain oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Apabila setelah
lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus
diterbitkan dalam waktu selambat-lambatnya satu bulan setelah jangka waktu
tersebut berakhir.
|
(3)
|
Apabila Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan
bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar."
|
7.
Ketentuan Pasal 18
diubah, sehingga seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 18
(1)
|
Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
merupakan dasar penagihan pajak.
|
(2)
|
Tata cara
pelaksanaan penagihan pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
|
8.
Ketentuan Pasal 20
diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 20
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, ditagih seketika dan
sekaligus dalam hal :
1.
Penanggung Pajak akan
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
2.
Penanggung Pajak
menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun memindahtangankan barang
bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau dikuasainya;
3.
pembubaran badan atau
niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit, begitu pula dalam hal terjadi
penyitaan atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik Penanggung
Pajak."
9.
Ketentuan Pasal 21
ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 21 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 21
(1)
|
Negara mempunyai hak
mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
|
(2)
|
Ketentuan tentang
hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pokok pajak,
bunga, denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan.
|
(3)
|
Hak mendahulu untuk
tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap :
|
1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan
suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun tidak bergerak;
2. biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan suatu barang;
3. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
|
(4)
|
Hak mendahulu itu
hilang setelah lampau waktu dua tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
kecuali apabila dalam jangka waktu dua tahun tersebut, Surat Paksa untuk
membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.
|
(5)
|
Dalam hal Surat
Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu dua tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan
Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu dua
tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran."
|
10. Ketentuan Pasal 22 diubah dan ditambah dengan
ayat (2), sehingga Pasal 22 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 22
(1)
|
Hak untuk melakukan
penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan,
daluwarsa setelah lampau waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang
bersangkutan.
|
(2)
|
Daluwarsa penagihan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila :
|
1. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak
baik langsung maupun tidak langsung;
3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)."
|
11. Ketentuan Pasal 23 diubah dan ditambah dengan
ayat (2), dan ayat (3), sehingga Pasal 23 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 23
(1)
|
Jumlah pajak yang
terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar Penanggung Pajak pada waktunya,
dapat ditagih dengan Surat Paksa.
|
(2)
|
Sanggahan dan/atau
gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
|
(3)
|
Pelaksanaan
penagihan pajak dengan Surat Paksa berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku."
|
12. Ketentuan Pasal 25 diubah dan ditambah dengan
satu ayat, sehingga Pasal 25 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 25
(1)
|
Wajib Pajak dapat
mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
|
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Keberatan diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi
menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
|
(3)
|
Keberatan harus
diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
(4)
|
Keberatan yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
|
(5)
|
Tanda penerimaan
Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang
ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat
menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan
Wajib Pajak.
|
(6)
|
Apabila diminta oleh
Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak
wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak,
penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak
|
(7)
|
Pengajuan keberatan
tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak."
|
13. Ketentuan Pasal 27 diubah dan ditambah dengan
tiga ayat, sehingga Pasal 27 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 27
(1)
|
Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap
keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Sebelum badan
peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan
banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan
merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
|
(3)
|
Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu tiga bulan sejak keputusan
diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
|
(4)
|
Putusan badan
peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
|
(5)
|
Pengajuan permohonan
banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan
pajak.
|
(6)
|
Susunan, kekuasaan
dan acara badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Undang-Undang".
|
14. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 27 dan
Pasal 28 yang dijadikan Pasal 27A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 27A
Apabila pengajuan
keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka
kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 %
(dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan."
15. Ketentuan Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat
(4), dan ayat (6) diubah dan ditambah dengan ayat (7) ayat (8), ayat (9), ayat
(10), ayat (11), dan ayat (12), sehingga Pasal 28 seluruhnya menjadi berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 28
(1)
|
Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak
badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
|
(2)
|
Dikecualikan dari
kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan
netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan Wajib Pajak
orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
|
(3)
|
Pembukuan atau
pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik
dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
(4)
|
Pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban atau utang,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.
|
(5)
|
Pembukuan atau
pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin,
angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau
dalam bahasa asing yang di ijinkan oleh Menteri Keuangan.
|
(6)
|
Buku-buku,
catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain wajib disimpan di Indonesia selama sepuluh tahun, yaitu
untuk :
|
1. Wajib Pajak orang pribadi, di tempat
kegiatan atau tempat tinggal;
2. Wajib Pajak badan, di tempat kedudukan.
|
(7)
|
Pembukuan
diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas.
|
(8)
|
Perubahan terhadap
metode pembukuan dan/atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak.
|
(9)
|
Pembukuan dengan
menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat diselenggarakan
oleh Wajib Pajak dalam Rangka Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, Kontrak
Bagi Hasil, dan kegiatan usaha atau badan lain, setelah mendapat ijin Menteri
Keuangan dengan ketentuan bahwa Surat Pemberitahuan harus diisi dalam bahasa
Indonesia dan mata uang rupiah, yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
|
(10)
|
Pencatatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran bruto dan/atau penerimaan penghasilan sebagai dasar
untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.
|
(11)
|
Dikecualikan dari
kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan melakukan pencatatan adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
|
(12)
|
Pedoman
penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak."
|
16. Ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan
ayat (4) diubah, sehingga Pasal 29 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 29
(1)
|
Direktur Jenderal
Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Untuk keperluan
pemeriksaan petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat Perintah
Pemeriksaan dan harus memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
|
(3)
|
Wajib Pajak yang
diperiksa wajib :
|
1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku
atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak, atau obyek yang terutang pajak;
2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat
atau ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan;
3. memberikan keterangan yang diperlukan.
|
(4)
|
Apabila dalam
mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka
kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
|
17. Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 31
Tata cara pemeriksaan
ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
18. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3)
diubah, dan ditambah ayat (4), sehingga Pasal 32 seluruhnya menjadi berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 32
(1)
|
Dalam menjalankan
hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal :
|
1. badan oleh pengurus;
2. badan dalam pembubaran atau pailit oleh
orang atau badan yang di bebani untuk melakukan pemberesan;
3. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah
seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta
peninggalannya;
4. anak yang belum dewasa atau orang yang
berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
|
(2)
|
Wakil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara
renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat
membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam
kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk di bebani tanggung jawab atas
pajak yang terutang tersebut.
|
(3)
|
Orang pribadi atau
badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
(4)
|
Termasuk dalam
pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang
yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan."
|
19. Ketentuan Pasal 34 diubah, sehingga seluruhnya
menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 34
(1)
|
Setiap pejabat
dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu
yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka
jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam
sidang pengadilan.
|
(2)
|
Larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam
sidang pengadilan.
|
(3)
|
Untuk kepentingan
negara, Menteri Keuangan berwenang memberi ijin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti
tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.
|
(4)
|
Untuk kepentingan
pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan
Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri
Keuangan dapat memberi ijin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
(5)
|
Permintaan Hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka atau
nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara
pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta
tersebut."
|
20. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga seluruhnya
menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 35
(1)
|
Apabila dalam
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan
keterangan, atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak,
kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
Wajib Pajak yang diperiksa atau di sidik, atas permintaan tertulis dari
Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan
atau bukti yang diminta.
|
(2)
|
Dalam hal
pihak-pihak sebagaimana pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan,
untuk keperluan pemeriksaan atau penyidikan pajak, kewajiban merahasiakan
tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank kewajiban merahasiakan ditiadakan
atas perintah tertulis dari Menteri Keuangan."
|
21. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 38
Barang siapa karena kealpaannya :
1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan denda
setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar."
22. Ketentuan Pasal 39 ayat (1) diubah dan
ditambah dengan ayat (3), sehingga Pasal 39 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 39
(1)
|
Barang siapa dengan
sengaja :
|
1. tidak mendaftarkan diri, atau
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
2. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
3. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
4. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau
dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
5. tidak menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lainnya; atau
6. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong
atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
diancam dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan denda
setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
|
(2)
|
Ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lipatkan dua apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun,
terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
|
(3)
|
Barang siapa
melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, atau menyampaikan
Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, di pidana dengan pidana
penjara selama-lamanya dua tahun dan denda setinggi-tingginya empat kali
jumlah restitusi yang di mohon dan/atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib
Pajak."
|
23. Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2)
diubah, sehingga Pasal 41 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut
"Pasal 41
(1)
|
Pejabat yang karena
kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
|
(2)
|
Pejabat yang dengan
sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diancam
dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan denda setinggi-tingginya
Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
|
(3)
|
Penuntutan terhadap
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan
atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar."
|
24. Menambah dua ketentuan baru di antara Pasal 41
Pasal 42 yang dijadikan Pasal 41A dan Pasal 41B,yang masing-masing berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 41A
Barang siapa yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib
memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar,
diancam dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 41B
Barang siapa dengan
sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
25. Ketentuan Pasal 42 dihapus.
26. Ketentuan Pasal 43 diubah, sehingga menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 43
(1)
|
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyeluruh melakukan, yang turut
serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
|
(2)
|
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang
menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan."
|
27. Ketentuan Pasal 44 ayat (2) diubah, sehingga
Pasal 44 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 44
(1)
|
Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
|
(2)
|
Wewenang Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
|
1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan
meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan
jelas;
2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan
keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
3. meminta keterangan dan bahan bukti dari
orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
4. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan
bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
7. menyuruh berhenti dan/atau melarang
seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang
berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf e;
8. memotret seseorang yang berkaitan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
9. memanggil orang untuk didengar keterangannya
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
10. menghentikan penyidikan;
11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk
kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang
dapat di pertanggungjawabkan.
|
(3)
|
Penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikannya kepada Penuntut umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
|
28. Menambah dua ketentuan baru di antara Pasal 44
dan Pasal 45 yang dijadikan Pasal 44A dan Pasal 44B, yang masing-masing
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 44A
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1)
menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j
dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan
tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena
peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.
Pasal 44B
(1)
|
Untuk kepentingan
penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
(2)
|
Penghentian
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi
administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan."
|
29. Ketentuan Pasal 47 dihapus.
Pasal II
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan tahun 1994 dan
sebelumnya, diberlakukan ketentuan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebelum dilakukan perubahan berdasarkan undang-undang ini.
Pasal III
Undang-Undang ini dapat disebut "Undang-Undang Perubahan
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan".
Pasal IV
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 9 November 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 9 November 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
M O E R D I O N O
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 59
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1994
T E N T A N G
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
U M U M
1.
Peraturan
perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 ini dilandasi falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung
tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban
kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.
Undang-Undang ini sebagian besar memuat ketentuan umum dan tata cara yang
berlaku untuk pajak penghasilan, sedangkan ketentuan umum dan tata cara untuk
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,
banyak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
2.
Dalam
pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983, disadari bahwa banyak masalah dihadapi yang
ternyata belum diatur dalam Undang-Undang ini sehingga menuntut perlunya
penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut sejalan dengan arah dan tujuan
pembangunan nasional serta kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Jangka
Panjang Tahap II yang antara lain berbunyi "Sistem perpajakan terus
disempurnakan, pemungutan pajak di intensifkan dan aparat perpajakan harus
makin mampu dan bersih".
Harapan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan
bersih, dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam
Undang-undang ini.
3.
Falsafah dan landasan
yang menjadi latar belakang dan dasar Undang-Undang ini tercermin dalam
ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem
dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem
perpajakan Indonesia, karena kedudukan Undang-Undang ini yang akan menjadi
"ketentuan umum" bagi perundang-undangan perpajakan yang lain.
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :
1.
Bahwa pemungutan pajak
merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan
untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
2.
Tanggung jawab atas
kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang
perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri.
Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban
perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan;
3.
Anggota masyarakat
Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong-royongan
nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini
administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi,
terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib
Pajak.
Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai
arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada
Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang
dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pula pelaksanaan
administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dapat
dihindari. Sejalan dengan harapan tersebut, wewenang Direktur Jenderal Pajak
yang bersifat teknis administratif dapat dilimpahkan kepada aparat bawahannya.
Menurut ketentuan Undang-Undang ini, administrasi perpajakan berperan aktif
dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi
tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan.
Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara
lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa
maupun penerangan langsung kepada masyarakat.
4.
Dengan berpegang teguh
pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan
penyempurnaan Undang-Undang Perpajakan ini adalah dalam memenuhi amanat
Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993 yang mengacu pada kebijaksanaan pokok
sebagai berikut :
1.
Menuju kemandirian
bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya
berasal dari penerimaan pajak;
2.
Menunjang usaha
pembangunan secara merata, mendorong investasi secara merata di seluruh wilayah
Republik Indonesia, terutama untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil
yangs elama ini dirasakan terbelakang atau terlambat perkembangannya, baik
dalam rangka pemerataan pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam maupun
dalam rangka peningkatan penerimaan pajak dalam jangka panjang;
3.
Menunjang usaha
peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan, dan
jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;
4.
Menunjang usaha
pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan
dalam rangka pengentasan sebagian masyarakat dari kemiskinan;
5.
Menunjang usaha
pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi;
6.
Menunjang usaha
pelestarian ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup;
7.
Menunjang usaha
meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan
sesuai dengan kemampuannya; dan
8.
Menunjang usaha
terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin bersih, peningkatan
pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur
dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan
pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, serta peningkatan penegakan
pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Dalam pasal ini memuat perumusan mengenai pengertian istilah
perpajakan yang dipergunakan dalam Undang-Undang ini. Dengan adanya pengertian
tentang istilah-istilah tersebut dapat dicegah adanya salah pengertian atau
salah penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga
dapat mencapai kelancaran dan kemudahan baik bagi Wajib Pajak maupun bagi
aparatur dalam melaksanakan kewajibannya dan pada akhirnya dicapai tertib
administrasi perpajakan.
Pengertian ini diperlukan, karena mengandung hal yang bersifat
teknis dan baku, khususnya dalam bidang perpajakan.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem "self assessment"
wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat
sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap
wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan
perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya
diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib
Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan
dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap
Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dikenakan sanksi perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Pengusaha yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan kepadanya diberikan
Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi Pengusaha badan,
kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dantempat
kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi Pengusaha badan, kewajiban melaporkan
usahanya tersebut adalah pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha
dilakukan.
Dengan demikian Pengusaha orang pribadi atau badan yang
mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa Kantor Direktorat Jenderal
Pajak, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di Kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan
untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna
dalam pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha
Kena Pajak tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, dikenakan sanksi perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu,
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan Kantor Direktorat Jenderal Pajak
selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor PengukuhanPengusaha
Kena Pajak.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak
memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya, dapat
diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang
diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi
atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak dan atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan
saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang
jangka waktu pendaftaran dan pelaporan tersebut serta tata cara pemberian Nomor
Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Angka 4
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang untuk melaporkan tentang :
-
|
pembayaran atau
pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan
atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
|
-
|
pembayaran dari
pemotongan atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang
pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
|
Bagi Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya
terutang dan untuk melaporkan tentang :
-
|
pengkreditan Pajak
Masukan terhadap Pajak Keluaran;
|
-
|
pembayaran atau
pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak
dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
|
-
|
bagi Pemotong atau
Pemungut Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggung-jawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya
|
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi
formulir Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan
petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-perundangan
perpajakan yang berlaku. Pengisian Surat Pemberitahuan yang tidak benar yang
mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi
perpajakan.
Ayat (2)
Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir
Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak, Kantor Pos dan Giro, Kantor Pos Pembantu, dan tempat-tempat
lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan yang diperkirakan mudah
terjangkau oleh Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan
segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak maupun penyelesaian
pembukuannya.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi atau badan ternyata tidak
dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca
perusahaan beserta daftar rugi laba dalam jangka waktu yang telah ditetapkan
pada ayat (3) huruf b karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis
penyusunan neraca atau laporan keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu
penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan,
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran diri dan/atau perpanjangan
waktu pembayaran pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak yang harus dibayar
sebelum batas waktu pemasukan Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan
persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi
Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan
tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan
sementara dalam satu Tahun Pajak, sebagai lampiran surat permohonan penundaan
kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib
Pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak
yang terutang dan pembayarannya, maka dalam rangka keseragaman dan mempermudah
pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya
memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah penghasilan kena pajak,
jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, dan jumlah kekurangan atau
kelebihan pajak.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya
memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan keterangan dan
dokumen yang dapat berupa antara lain surat kuasa, surat keterangan tentang
perkawinan dengan pisah harta dan penghasilan, dokumen yang berkenaan dengan
impor atau ekspor dan Surat Setoran Pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan beserta lampirannya merupakan satu kesatuan,
oleh karena itu apabila Surat Pemberitahuan disampaikan tidak atau tidak
sepenuhnya dilampiri dengan keterangan dan dokumen yang diharuskan, maka Surat
Pemberitahuan tersebut dianggap tidak disampaikan.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau
pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak
Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan,
misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan
hanya dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
sejalan denganperkembangan teknologi informasi, maka perlu cara lain bagi Wajib
Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya selain
melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat. Oleh karena itu, cara lain perlu ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 7
Untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk
menjaga disiplin Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang tidak mematuhi kewajiban
formal menyampaikan Surat Pemberitahuan sesuai dengan batas waktu yang
ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda untuk Surat
Pemberitahuan Masa sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) dan untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan sebesar Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Angka 7
Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang
dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan
atas kemauan sendiri dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.
Penetapan batas waktu pembetulan tersebut, di satu pihak dipandang cukup waktu
bagi Wajib Pajak untuk meneliti dan membetulkan Surat Pemberitahuannya apabila
terdapat kesalahan, di lain pihak masih tersedia cukup waktu bagi Direktur
Jenderal Pajak untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan terhadap
pembetulan yang dilakukan Wajib Pajak sebelum batas waktu daluwarsa terlampaui.
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan atas kemauan
sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah
penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula. Atas
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per bulan. Bunga yang
terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sampai dengan tanggal
pembayaran karena adanya pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan
pemeriksaan terhadapnya dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan
sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutangbeserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar dua kali dari jumlah pajak yang kurang
dibayar, maka terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.Namun bilamana telah
dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan
kepada Penuntut Umum, maka kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup
bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah berakhir dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat
ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum
membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat
berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk
tahun-tahun atau masa-masa sebelumnya. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan tersebut terbatas pada hal-hal sebagai berikut :
1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi
lebih besar; atau
2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi
lebih kecil; atau
3. jumlah harta menjadi lebih besar; atau
4. jumlah modal menjadi lebih besar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dengan batas waktu tidak boleh melebihi lima belas hari sejak saat terutangnya
atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran masa tersebut
berakibat dikenakannya sanksi administrasi sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b Wajib Pajak
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan selambat-lambatnya tiga bulan
setelah akhir Tahun Pajak. Jika pada waktu pengisian Surat Pemberitahuan
tersebut ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang,
maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas
selambat-lambatnya tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan itu
disampaikan. Misalnya Surat Pemberitahuan harus disampaikan pada tanggal 31
Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau setoran akhir harus sudah
dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 Maret, sebelum Surat Pemberitahuan
disampaikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat memperkenankan pengangsuran atau
penundaan pembayaran pajak yang terutang, meskipun tanggal jatuh tempo
pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati
dan terbatas kepada Wajib Pajak, yang benar-benar sedang mengalami kesulitan
likuiditas. Untuk mendapatkan kelonggaran tersebut, Wajib Pajak harus memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan.
Angka 9
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah
kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang), Wajib Pajak berhak
untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak
tersebut tidak mempunyai utang pajak. Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai
utang pajak yang belum dilunasi, kelebihan pembayaran tersebut harus
diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan bilamana masih
terdapat sisa lebih, baru dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak. Yang dimaksud
dengan utang pajak adalah utang pajak untuk semua jenis pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak baik pusat maupun cabang-cabangnya. Untuk memperoleh kembali
kelebihan pembayaran tersebut, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis
kepada Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuknya.
Ayat (2)
Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan
menjamin ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian oleh Direktur Jenderal
Pajak ditetapkan dalam waktu selama-lamanya satu bulan :
1. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
2. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (3)
Untuk terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib
Pajak dengan kecepatan pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ayat ini
menentukan bahwa atas setiap kelambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dari jangka waktu seperti tersebut pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan diberikan imbalan oleh Pemerintah berupa bunga sebesar 2 % (dua
persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu satu bulan sampai
dengan saat dilakukan pembayaran. Yang dimaksud dengan saat dilakukan
pembayaran kelebihan pembayaran pajak adalah saat Surat Perintah Membayar
kelebihan Pajak diterbitkan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 10
Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada
hakekatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti dalam ayat ini, dengan
perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau
kewajiban materiil. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan
koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu sepuluh tahun.
Menurut ketentuan ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Pajak Penghasilan baru diterbitkan bilamana Wajib Pajak tidak membayar
pajak sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak,
adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan
dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang
membayar dari jumlah yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan
dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di
luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat
dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana
mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat
dilakukan pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya,
walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka
waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, menurut ketentuan ayat (1) huruf
b membawa akibat, bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini
dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur pada ayat (3).
Teguran antara lain dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan
kepada Wajib Pajak yang beritikad baik, untuk menyampaikan alasan atau
sebab-sebab tidak dapatnya Surat Pemberitahuan disampaikan karena sesuatu hal
di luar kemampuannya (force mayeur).
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di
bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang
mengakibatkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana tersebut
pada ayat (1) huruf c, dikenakan sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah kenaikan sebesar 100 % (seratus persen).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan menurut
ketentuan Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan menurut
Pasal 29, sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak
yang seharusnya terutang sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf d, maka
Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dengan penghitungan secara jabatan yaitu penghitungan pajak didasarkan
pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar
penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak diletakkan pada Wajib
Pajak.Sebagai contoh diberikan antara lain :
1.
pembukuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap, sehingga penghitungan rugi laba atau
peredaran tidak jelas;
2.
dokumen-dokumen
pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji;
3.
dari rangkaian
pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya
dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu, sehingga dari sikap
demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad baiknya untuk
membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.
Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang
diterbitkan berdasarkan ketentuan ayat (1) huruf b.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan
kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga
sebesar 2 % (dua persen) dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung satu bulan.
Contoh :
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Seorang Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang mempunyai tahun buku sama dengan
tahun takwim memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun 1995 tepat pada
waktunya yang disertai dengan setoran akhir.
Pada bulan April 1998 dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar yang menunjukkan kekurangan pajak yang terutang sebesar Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah). Berdasarkan ketentuan ayat ini maka atas kekurangan
tersebut ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua
persen)sebulan.
Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan
lebih dari dua tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas
kekurangan tersebut hanya untuk masa dua tahun dengan penghitungan sebagai
berikut :
1.
|
Pajak yang terutang
|
Rp.1.725.000,00
|
2.
|
Kredit Pajak :
|
|
a.
|
Pajak yang dipotong
oleh pemberi kerja
|
Rp. 150.000,00
|
|
b.
|
Pajak yang dibayar
sendiri (setoran masa)
|
Rp. 400.000,00
|
|
c.
|
Pajak yang ditagih
dalam SPT (tidak termasuk bunga dan denda)
|
Rp.
75.000,00
|
|
d.
|
Pajak yang ditagih
di luar negeri
|
Rp. 100.000,00 (+)
|
|
|
Jumlah pajak yang dikreditkan
|
Rp.
725.000,00 (-)
|
3.
|
Pajak yang kurang
dibayar
|
Rp.1.000.000,00
|
4.
|
Bunga 2 tahun = 2% X
2 X 12 X Rp. 1.000.000,00
|
Rp.
480.000,00 (+)
|
5.
|
Pajak yang masih
harus dibayar
|
Rp.1.480.000,00
|
Seandainya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut
diterbitkan bulan Mei 1997, maka penghitungannya sebagai berikut :
1.
|
Pajak yang kurang
dibayar
|
Rp.1.000.000,00
|
2.
|
Bunga 17 bulan = 2%
X 17 X Rp. 1.000.000,00
|
Rp.
340.000,00 (+)
|
3.
|
Pajak yang masih
harus dibayar
|
Rp.1.340.000,00
|
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan
pajak, karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b,huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi demikian berupa kenaikan,
yaitu suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada jumlah pajak yang
harus ditagih. Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda
menurut jenis pajaknya yaitu jenis Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak sanksi kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak
Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi kenaikan sebesar
100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sanksi kenaikan sebesar 100%(seratus persen).
Ayat (4)
Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib
Pajak, berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem "self
assessment", maka apabila dalam waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya
pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak,
Direktur Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan ketetapan pajak, maka jumlah
pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat
Pemberitahuan Tahunan pada hakekatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya
atau telah menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Dengan demikian, Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang bersangkutan
telah merupakan ketetapan yang tetap dan tidak akan diubah (rampung).
Ayat (5)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk
diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun
jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana ditentukan pada ayat (1)
dilampaui.Dengan adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tersebut, terungkap adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak
dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Angka 11
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan
hukumnya dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat
juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga
atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena :
-
|
penelitian Surat
Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah
tulis dan/atau salah hitung;
|
-
|
Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
|
Untuk jelasnya cara penghitungannya diberikan contoh sebagai
berikut :
1. Hasil Penelitian Surat Pemberitahuan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 1995 yang disampaikan
tanggal 31 Maret 1996 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah
hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp.1.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak
tanggal 14 Juni 1996 dengan penghitungan sebagai berikut :
-
|
Kekurangan Bayar
Pajak Penghasilan
|
Rp.1.000.000,00
|
-
|
Bunga 3 x 2% x
Rp.1.000.000,00
|
Rp.
60.000,00 (+)
|
-
|
Jumlah yang harus
dibayar
|
Rp.1.060.000,00
|
2. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak
atau kurang dibayar :Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 1995 setiap bulan sebesar
Rp.100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Bulan Juni 1995,
dibayar tepat waktu sebesar Rp. 40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan
Pajak tanggal 18 September 1995 dengan penghitungan sebagai berikut :
-
|
Kekurangan bayar
Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 1995
|
Rp.60.000.000,00
|
-
|
Bunga 3 X 2% X Rp.
60.000.000,00
|
Rp.
3.600.000,00 (+)
|
-
|
Jumlah yang harus
dibayar
|
Rp.63.600.000,00
|
Ayat (4)
Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan kegiatan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka ia telah melanggar
kewajibannya dengan itikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan yang
telahdiberikan kepadanya.
Oleh karena itu selain harus menyetor pajak terutang dengan
tidak diperkenankan memperhitungkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak juga dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesarnya 2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak yang timbul sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Di sampaikan itu berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat
oleh Pengusaha Kena Pajak.
Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak
dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak
semestinya, dan oleh karena itu terhadapnya dikenakan sanksi berupa denda
administrasi.
Demikian pula terhadap Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat
Faktur Pajak tetapi tidak melaksanakan atau tidak selengkapnya mengisi Faktur
Pajak, dikenakan sanksi yang sama.
Angka 12
Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau telah
dilakukanpengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan
dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu
Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah, Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam
jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan merupakan koreksi atasketetapan pajak sebelumnya.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan
apabila telah pernah diterbitkan ketetapan pajak. Dengan perkataan lain Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum
didahului dengan penerbitan ketetapan pajak.
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan
dengan syarat adanya data baru (novum) dan/atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan
pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu maka setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu dua belas bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap. Dalam hal masih ditemukan data lagi yang semula belum terungkap pada
saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data
baru yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan data baru adalah data yang belum dilaporkan
oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan, sedangkan data yang semula belum
terungkap adalah data yang sudah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan namun tidak diungkapkan secara jelas.
Sebagai contoh dari data yang semula belum terungkap antara lain adalah
sumbangan yang diperhitungkan sebagai biaya umum dengan tidak disertai
rinciannya, sehingga tidak dapat diketahui bahwa sumbangan tersebut sebenarnya
tidak dapat dikurangkan sebagai biaya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata masih
ditemukan data baru dan/atau data yang belum terungkap yang belum
diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, maka atas pajak yang kurang
dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak
yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dibenarkan untuk
diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat
puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, meskipun
jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dilampaui.
Angka 13
Pasal 16
Pembetulan ketetapan pajak menurut pasal ini dilaksanakan dalam
rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik, sehingga apabila terdapat
kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam suatu ketetapan pajak
perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut
tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.
Apabila kesalahan atau kekeliruan ditemukan baik oleh fiskus
atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak maka kesalahan atau kekeliruan tersebut
harus dibetulkan. Surat Ketetapan Pajak yang salah atau keliru yang dapat
dibetulkan tersebut adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan,Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat
Ketetapan Pajak Nihil; selain itu dapat juga dibetulkan Surat Tagihan Pajak
yang salah atau keliru.
Ruang lingkup pembetulan yang diatur dalam Pasal ini terbatas
pada Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang salah sebagai akibat
dari :
1.
kesalahan tulis, yaitu
antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak,
Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Nomor Surat Ketetapan Pajak, Jenis
Pajak, Masa atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
2.
kesalahan hitung,
yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau
perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan;
3.
kekeliruan dalam
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan
dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan,
kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena
Pajak, dan kekeliruan dalam pengkreditan.
Pengertian membetulkan dalam pasal ini dapat berarti menambah
atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan
kekeliruannya.
Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung
dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perpajakan dalam surat
keputusan pembetulan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan
pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak , atau Direktur Jenderal Pajak dapat
melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Angka 14
Pasal 17
Menurut ketentuan pasal ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
diterbitkan, apabila :
1.
untuk Pajak
Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang,
atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
2.
untuk Pajak
Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang
terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, maka yang dimaksud dengan jumlah yang terutang adalah jumlah Pajak
Keluaran setelah dikurangi pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai tersebut;
3.
untuk Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang
terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah
dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak
yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (permohonan
restitusi).
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), maka
wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat
(2).
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar
jumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
Angka 15
Pasal 17A
Menurut ketentuan pasal ini Surat Ketetapan Pajak Nihil
diterbitkan apabila :
1.
untuk Pajak
Penghasilan, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
2.
untuk Pajak
Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajakyang terutang,
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Apabila terdapat pajak
terutang yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang
dimaksud dengan jumlah pajak yang terutang adalah jumlah Pajak Keluaran setelah
dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
tersebut;
3.
untuk Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.
Pasal 17B
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
harus diterbitkan Surat Ketetapan Pajak selambat-lambatnya dua belas bulan
sejak surat permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat
Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Untuk
kegiatan ekspor dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jangka waktu tersebut dapat
dipersingkat dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak. Permohonan dapat
disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan
surat tersendiri.
Surat Ketetapan Pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau Surat Ketetapan Pajak
Nihil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17A.
Ayat (2)
Dengan batas waktu tersebut pada ayat (1) dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak, sehingga bila batas waktu tersebut dilewati dan Direktur Jenderal
Pajaktidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan tersebut dianggap
dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan
tertib administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar maka oleh Pemerintah diberikan imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan kepada Wajib Pajak, dihitung sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, bagian dari bulan dihitung satu
bulan.
Angka 16
Pasal 18
Ayat (1)
Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan sarana
administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 20
Yang dimaksud dengan penagihan "seketika" adalah
penagihan dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran,
sedangkan penagihan "sekaligus" adalah penagihan yang meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak dan Tahun Pajak.
Angka 18
Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen
yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung
Pajak yang akan dilelang di muka umum. Setelah utang pajak dilunasi baru
diselesaikan pembayaran kepada kreditur lainnya.
Maksud dari ayat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada
Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil
pelelangan barang-barang milik Penanggung Pajak di muka umum guna menutupi atau
melunasi utang pajaknya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk
memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui sepuluh tahun apabila
:
1.
Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan Surat Teguran dan menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung
Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh
tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak
tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
2.
Wajib Pajak menyatakan
pengakuan utang pajak dengan cara :
-
|
Wajib Pajak
mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum
tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan
dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran
utang pajak diterima DIrektur Jenderal Pajak.
|
-
|
Wajib Pajak mengajukan
permohonan keberatan. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung
sejak tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.
|
-
|
Wajib Pajak
melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya. Dalam hal seperti itu
daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak
tersebut.
|
3.
Terdapat Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal
penerbitan ketetapan pajak tersebut.
Angka 20
Pasal 23
Ayat (1)
Dalam hal jumlah tagihan pajak tersebut tidak dibayar sampai
dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, penagihannya dapat dilakukan dengan
Surat Paksa. Pengertian kata "dapat" pada ayat ini adalah bahwa
penagihan pajak dengan Surat Paksa baru dilaksanakan apabila Penanggung Pajak
tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau
sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi
angsuran pembayaran pajak.
Ayat (2)
Sebelum badan peradilan pajak dibentuk, sanggahan dan/atau gugatan Penanggung
Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang diajukan kepada
Pengadilan Negeri setempat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 21
Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak,
dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi ketetapan pajak
yaitujumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan, jumlah
besarnya pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak. Perkataan
"suatu" pada ayat ini dimaksudkan bahwa satu keberatan harus diajukan
terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya :
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1995 dan Tahun Pajak 1996
keberatannya harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan
tersendiri.
Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu
tiga bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat(1), dengan maksud agar supaya Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup
memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata
bahwa batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak
karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force Mayeur), maka tenggang
waktu selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Tanda bukti atau resi penerimaan surat keberatan sangat
diperlukan untuk memenuhi ketentuan formal. Diterima atau tidaknya hak
mengajukan surat keberatan dimaksud, tergantung dipenuhinya ketentuan batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang dihitung mulai diterbitkannya surat
ketetapan pajak sampai saat diterimanya surat keberatan tersebut.
Tanda bukti atau resi penerimaan tersebut oleh Wajib Pajak juga
digunakan sebagai alat kontrol baginya, untuk mengetahui sampai kapan batas
waktu dua belas bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) berakhir.
Tanda bukti atau resi penerimaan itu diperlukan untuk memastikan
bahwa keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak
tidak menerima surat balasan dari Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang
diajukan.
Inilah yang dimaksud dengan kata "kepentingan" dalam
ayat ini.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan
yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar pengenaan,
pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, sebaliknya Direktur
Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut di atas.
Ayat (7)
Untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran
pajak melalui pengajuan surat keberatan, maka pengajuan keberatan tidak
menghalangi tindakan penagihan sampai dengan pelaksanaan lelang. Ketentuan ini
perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan
keberatan, untuk tidak melakukan kewajiban membayar pajak yang telah
ditetapkan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.
Angka 22
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Angka 23
Pasal 27A
Cukup jelas
Angka 24
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 huruf v.
Pengaturan pada ayat ini dimaksudkan agar dari pembukuan tersebut dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak
lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan
benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai
impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat
dikreditkan.
Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau
sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Prinsip Akuntansi
Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen termasuk hasil
pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus
disimpan selama sepuluh tahun di Indonesia, dengan maksud agar apabila Direktur
Jenderal Pajak akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak, bahan pembukuan atau
pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun
waktu sepuluh tahun penyimpanan buku-buku,catatan-catatan, dan dokumen-dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan
yang mengatur mengenai batas daluwarsa penetapan pajak.
Ayat (7)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam
metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah penggeseran laba
atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya penggunaan :
1. Stelsel pengakuan penghasilan;
2. Tahun buku;
3. Metode penilaian persediaan;
4. Metode penyusutan.
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan
biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada
waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan
biaya itu dibayar tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan
penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan
yangumumnya dipakai di bidang konstruksi dan metode lainnya yang dipakai di
bidang usaha tertentu seperti Build Operate and Transfer (BOT), Real-Estate,
dan lain-lain.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan
atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut
stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah
diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai
biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang
pribadi atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang
tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak
berlangsung lama. Dalam Stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang
atau jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan
biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi
lainnya.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan
penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan
dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan
pengeluaran kas. Oleh karena itu untuk penghitungan Pajak Penghasilan, dalam
memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut :
1)
|
Penghitungan jumlah
penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang
tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
|
2)
|
Dalam memperoleh
harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya
yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan
dan amortisasi.
|
3)
|
Pemakaian stelsel
kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
|
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan
dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (8)
Pada dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harus taat
asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal
penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual),
metode penyusutan aktiva tetap, metode penilaian persediaan dan sebagainya.
Namundemikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat
telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode
pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya
tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan-alasan yang logis dan
dapat diterima serta akibat-akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas
yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau
perubahan penggunaan metode pengakuanpenghasilan atau pengakuan biaya itu
sendiri. Misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan
aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh :
Wajib Pajak dalam tahun 1995 menggunakan metode penyusutan garis lurus atau
straight line method. Dalam tahun 1996 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode
penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau
declining-balanced method.
Untuk keperluan tersebut, Wajib Pajak harus minta persetujuan
terlebih dahulukepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya
tahun buku 1996 dengan menyebutkan alasan-alasan dilakukannya perubahan metode
penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat
berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak, oleh karena itu
perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun pajak adalah sama dengan tahun takwim (tahun kalender)
kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun takwim, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan menggunakan
tahun yang didalamnya termasuk enam bulan pertama atau lebih.
Contoh :
1. Pembukuan 1 Juli 1995 sampai dengan 30 Juni
1996, tahun pajaknya adalah tahun pajak 1995.
2. Pembukuan 1 Oktober 1995 sampai dengan 30
September 1996, tahun pajaknya adalah tahun 1996.
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Pencatatan oleh Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas meliputi peredaran bruto dan penerimaan penghasilan lainnya,
sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan
pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penerimaan penghasilan.
Ayat (11)
Cukup jelas
Ayat (12)
Cukup jelas
Angka 25
Pasal 29
Ayat (1)
Direktur
Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk :
1. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan;
2. tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan di Kantor (Pemeriksaan Kantor) atau
ditempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan ) yang ruang lingkup pemeriksaannya
dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk
terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau
pemotong pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan,
pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya,
dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak,
yang dilakukan dengan :
1. Menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang
lazim digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan Pemeriksaan
Lengkap;
2. Menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan
bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik
dilakukan di kantor maupun di lapangan, yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana.
Selain itu, Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan untuk
tujuan lain, diantaranya :
-
|
menetapkan satu atau
lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penghasilan
Pasal 21;
|
-
|
mengukuhkan atau
mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
|
-
|
memberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan.
|
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Wajib Pajak yang diperiksa dalam rangka pengujian tingkat
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memperlihatkan dan meminjamkan buku-buku,
catatan-catatan, dokumen-dokumen dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan
yang berkaitan dengan perolehan penghasilan atau kegiatan usaha.
Bilamana buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang
diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk
menghindarkan diri,berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa dibolehkan untuk
memasuki tempat atau ruangan yang menurut dugaan petugas digunakan sebagai
tempatpenyimpanan buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen tersebut.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan, sehingga
pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan
tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak, maka ayat ini menegaskan bahwa
kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Angka 26
Pasal 31
Cukup jelas
Angka 27
Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil
untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan,
badan dalam pembubaran, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa
atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu
ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya, oleh karena mereka tidak
dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil dari Wajib Pajak yang diatur
dalam Undang-undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng
atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh
Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan
meyakinkan bahwa dalam kedudukannya menurut kewajaran dan kepatutan tidak
mungkin dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atau secara renteng.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak
untuk minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai
kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal
dan materiil serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan
kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan
perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga,
menandatangani cheque, dan sebagainya, walaupun orang tersebut tidak tercantum
namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte
perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus.
Angka 28
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara dan
sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu
pelaksanaan Undang-Undang perpajakan, adalah sama dengan petugas pajak yang
dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka mengadakan kerja
sama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari
atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Dalam surat izin yang diterbitkan
oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang
ditunjuk dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diijinkan untuk
memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang
Wajib Pajak. Pemberian ijin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal
yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi
kepentingan peradilan Menteri Keuangan memberikan ijin pembebasan atas
kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak termasuk pejabat pajak yang
ditugaskan dalam badan peradilan pajak atau Majelis Pertimbangan Pajak dan para
ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), atas permintaan tertulis
Hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Maksud dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan,
bahwa keterangan perpajakan yang diminta tersebut adalah hanya mengenai perkara
pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang
perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Angka 29
Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga
yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan
pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak
yang diperiksa atau disidik, harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta
pejabat Direktorat Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 30
Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan
sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang
perpajakan, dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi
merupakan tindak pidana.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya
kesadaran Wajib Pajakuntuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja,
lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan tidak memperdulikan
kewajibannya, sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara.
Angka 31
Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang berat mengingat pentingnya
peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang
perpajakan, maka bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat satu tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau
seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana lebih berat, ialah
dilipatkan dua dari ancaman pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat
Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak yang tidak
benar, sangat merugikan negara. Oleh karena itu percobaan melakukan tindak
pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Angka 32
Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan
diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data
dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang
Perpajakan, maka perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yangbersangkutan yang
menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut. Pengungkapan
kerahasiaan menurut ayat ini adalah dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai,
tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan, sehingga kewajiban untuk
merahasiakan, keterangan, atau bukti-bukti yang ada pada wajib pajak yang
dilindungi oleh Undang-Undang Perpajakan, dilanggar. Atas kealpaan tersebut
dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang lebih berat dibanding dengan
perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan, agar pejabat yang
bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan
rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya, adalah menyangkut
kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak, karena itu
dijadikan tindak pidana pengaduan.
Angka 33
Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi pidana bagi pihak
ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal
ini.
Pasal 41B
Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan misalnya menghalangi Penyidik
melakukan penggeledahan, menyembunyikan bahan bukti dan sebagainya sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini, dikenakan sanksi pidana.
Angka 34
Pasal 42
Cukup jelas
Angka 35
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang
perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib
Pajak, atau pegawai Wajib Pajak, namun juga terhadap mereka yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 36
Pasal 44
Ayat (1)
Penyidik di bidang perpajakan adalah pejabat pegawai negeri
tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat oleh Menteri
Kehakiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 37
Pasal 44A
Dalam hal penyidikan pidana di bidang perpajakan dihentikan
kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka surat ketetapan pajak tetap
dapat diterbitkan.
Pasal 44B
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 38
Pasal 47
Ketentuan pasal ini dihapus, karena secara substantif merupakan
materi dari Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan dan telah diatur dalam
Undang-Undang tersebut.
Pasal II
Cukup jelas
Pasal III
Cukup jelas
Pasal IV
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3566